Selasa, 22 Desember 2015

Tentang Ibu



 
Ibu memang tak sekuat tentara tetapi hatinya melebihi kuatnya baja. Aku mencintaimu, Ibu  - Itsuka Akira

“ Hana, kamu sudah besar sekarang. Kamu harus menentukan semuanya sendiri. Ibu sama Ayah hanya bisa mendoakanmu dari sini “, ujar Ibu saat aku ada di bandara waktu itu.
Seakan kata itu masih terngiang di pikiranku. Sudah 5 tahun kutinggalkan negeri tercinta demi meraih sejumput ilmu di negeri orang. Merantau dari kota ke kota. Dari negeri matahari terbit hingga ke negeri adidaya. Sudah selama itu aku belum pulang ke rumah. Impian menjadi Professor di bidang kardiovaskular dan bedah thoraks kardiovaskuler membawa langkahku berakhir di sini. Di negeri Paman Sam. Sudah hampir setahun aku berkutat dengan penelitian ini itu demi gelar profesorku.
            Foto keluargaku masih terpajang manis di meja kerjaku. Kugerakkan kepalaku. Rasanya sedikit tidak enak. Mungkin karena aku terus berkutat dengan data-data dan buku tebal ini. Aku masih menghitung kemungkinan keberhasilan metode yang kutemukan ini. Aku juga menghabiskan banyak waktuku untuk berkonsultasi pada Profesor-profesor senior di sini. Harvard Medical School adalah tempatku mulai membangun kepercayaan diri. Setahun ini aku memmfokuskan diri untuk meneliti dan membantu beberapa mahasiswa S1 dari Harvard University.
“ Hi, Hana, let’s get dinner. Oh girls, look at your self “, teriak temanku, William Stanford.
“ Sorry, Mr. Stanford. I have to look my research. Go dinner with your girlfriend “.
“ Aish, little brat. Up to you. I’ll go “.
“ Bye, Mr. Stanford “, lambaiku.
            Aku biasanya memanggil teman-teman seperjuanganku di sini dengan julukan Mr atau Miss. Ya memang usia mereka lebih tua dariku yang masih di garis 27 tahun. Bicara soal ibu, jujur saja aku kangen dengan Indonesia.
nae salmi haruharu kkumeul kkuneun geotcheoreom
neowa hamgge majubomyeo saranghalsu itdamyeon
dasi ileoseol geoya
Kulihat deretan huruf membentuk kata yang kurindukan.
“ Assalamu’alaikum. Ibu, ini Hana. Ibu apa kabar ? “
“ Wa’alaikumsalam. Ibu sama semuanya baik-baik saja. Kamu gimana di Amerika, sehat nduk ? Asmamu nggak kambuh kan ? Sekarang di sana musim dingin nduk, jangan lupa pakai baju tebal, pakai jaket “.
            Seketika air mataku meluncur. Semua kata-kata ibu masih sama seperti dulu. Beliau selalu menasehatiku dan memberi perhatian padaku. Kugigit bibir bawahku agar tangis ini tak meluncur.
“ Hana baik bu. Asma Hana udah nggak kambuh lagi. Ibu nggak usah khawatir Hana bisa jaga diri. Sebelumnya Hana minta maaf kemarin sempat telat transfer buat sekolah Yahya karena beberapa minggu ini ada tiga pasien yang kondisinya nggak stabil “.
“ Ya, Ibu ngerti. Hana, ayah menolak lamaran dari teman SMPmu dulu. Jawaban Hana untuk lamaran Ridwan gimana ? “
Deg. Jantungku terasa berhenti berdetak. Sejak aku kelas 3 SMP, nama itu sudah hilang dari pikiranku. Kuhembuskan napasku pelan.
“ Apa yang ayah jawab itu adalah yang terbaik buat Hana. Hana akan mengikuti pilihan orang tua Hana karena Hana percaya ayah dan ibu pasti memberikan yang terbaik buat Hana “.
            Di seberang sana kudengar suara ibu berdiskusi dengan ayah.
“ Begini, hari ini ada yang melamarmu. Katanya kakak tingkatmu ketika di Jepang dulu. Dia meminta kamu untuk menjadi istrinya. Dia mualaf sejak kelulusannya dari Kyoto University. Dia dan keluarganya datang jauh-jauh dari Jepang hanya untuk ini. Bagaimana jawabanmu Hana ? “
Sekali lagi tamparan telak mengenaiku. Siapa ? Siapa dia ?
“ Ibu tahu kamu ragu. Ibu mau kamu sholat istikharah dulu. Pasrahkan sama Allah “.
Aku tak mampu bersuara. Inikah akhir penantianku selama ini ? Misaki-senpai, kamu di mana ?
“ Ya bu, Hana menerimanya jika orang itu ibu dan ayah pandang baik untuk Hana “.
            Ucapan syukur menyerbu gendang telingaku. Mungkin ini takdir Allah. Aku harus bersama orang yang bukan menjadi tambatanku tetapi Allah memberikan imam terbaiknya kepadaku. Beberapa ucapan setelahnya membuatku terdiam hingga dering telpon berakhir. Ibu, apa benar jalan yang Hana ambil ini ? Kulepaskan pulpen yang sedari tadi kumainkan. Kupandangi sebuah foto yang berasal dari 4 tahun lalu. Fotoku dengan Misaki-senpai saat kelulusannya. Jujur tidak ada pengikat apa-apa di antara kami. Hanya sebuah janji di atas ikrar nama Tuhan tanpa ikatan apa-apa. Kubereskan meja kerjaku dan kulangkahkan kaki pulang. Jam tanganku sudah menunjuk angka sepuluh. Jam 10 malam waktu Boston.
            Suara musik ala korea masih terdengar dari flat tempat tinggalku begitu kumembuka pintu ruang tamu. Seorang juniorku yang mengenyam pendidikan S2 bedah thoraks kardiovaskular di kampusku masih menekuni drama Korea di laptopnya. Kusunggingkan senyumanku.
“ Lihat apa ? Udah jam 11 lho. Nggak baik buat badanmu “.
“ Ih Kak Hana, ngagetin Saras aja. Ini lagi lihat drama terbaru. Ganteng lho pemainnya “.
Kuacak rambut panjangnya.
“ Ya deh, ganteng tapi masih gantengan Kyuhyun Suju. Udah kamu istirahat sana. Dramanya dilanjut besok aja. Lagi pula kamu nggak ada kuliah musim dingin kan ? “.
Dianggukkan kepalanya sambil mengancungkan jempolnya. Aku tahu Saras tidak akan menuruti ucapanku. Dia benar-benar Korean addict. Sholat Isya’ku sudah kulakukan di kampus. Rasanya tulangku mau copot semua. Tadi pagi aku sudah sport jantung dengan kondisi dari pasien Prof. Gerrard. Prof. Gerrard sedang ada di Inggris jadi semua tugas mengawasi pasiennya jatuh padaku.
            Kuambil handuk dan baju gantiku. Aku rasa aku perlu mandi. Meski kamar mandiku di dalam kamar, teman seflatku biasanya langsung masuk begitu saja ke dalam kamar dan mulai merecokiku masalah abc. Usai mandi kuusap rambutku yang masih basah. Kubuka laptopku. Beberapa e-mail adikku masuk. Dia bilang yang melamarku sangat tampan dan baik. Aku hanya bisa tersenyum tipis. Berarti kesempatan Misaki-senpai sudah hilang. Sudah 4 tahun komunikasiku dengan Misaki-senpai terputus dan aku tidak tahu kabar apapun mengenai Misaki-senpai.
            Sejak hari itu, aku mulai memforsir diriku untuk bekerja lebih keras agar proposalku dapat diajukan pada sidang untuk gelar profesor bedah thoraks kardiovaskularku musim semi depan. Saras, Desita, Kak Rara, Kak Prita mengkhawatirkan cara kerjaku baik di rumah sakit maupun di kampus. Aku bekerja hampir selama 16 jam sehari. Aku mencoret beberapa bagian yang salah. Memperbaikinya lagi dari awal. Awal musim semi, aku menghadap Profesor Gerrard dan hasilnya proposalku akan diajukan di sidang kedua minggu pertama bulan April. Telpon ibu terus menerus berdatangan. Memberikanku support untuk belajar lagi. Terkadang aku menangis di telpon mendengar ibu bilang dia sudah bangga dengan apa yang kuraih. Tepat saat sidang kuundang ibu, ayah, dan adikku untuk menghadiri sidang untuk gelar profesorku.
            Udara di Boston masih cukup dingin dan kusewakan ibu, ayah dan adikku sebuah flat di atas flatku selama beberapa hari. Keesokan harinya, Ibu, ayah, dan adikku melihat bagaimana aku mempertahankan hasil penelitianku di depan banyak profesor dari universitas ternama di dunia, termasuk Prof. Tsuji Haruka yang memberiku jalan untuk belajar di Harvard. Detik demi detik terasa menegangkan. Sambutan terakhirku membuat ayah dan ibu menangis.
“ When i was a child, my younger brother had suffered Meningitis. He was a brave child, good boy, but God has shown his ways, my brother passed away but in that condition, i could not do anything for him. I just prayed for him. But, in my deep heart, i was upset. Why was my brother ? Why could not i do something for him ? I was depressed about him but now i want to say to him, Brother, your sister had gotten what she want. I want to help other person with my ability. For this tittle, i want to work hard and work again to repair my ability. Thank you for my dad, my mom, my brother, Prof. Gerrard, Prof. Gilbert, Prof. White, Prof. Tsuji, all of my colleagues. Thank you for your attention and good afternoon “.
            Tepuk tangan mendominasi hall kampus. Usai acara beberapa kawan dan teman seflatku mengabadikan momen itu dengan berfoto bersama. Prof. Gerrard dan Prof. Tsuji berbicara dengan bangga di depan orang tuaku. Dari sudut pandangku, Ibu sangat bangga dengan semua hasil prestasiku. Prof. Tsuji memberikan selembar amplop coklat tebal persis saat aku lulus S3 dari Tokyo University setahun lalu. Wajah tak percaya kutunjukkan begitu kertas seukuran F4 bertuliskan penerimaanku sebagai asisten profesor di Cambridge University dan dokter di salah satu rumah sakit ternama di Inggris.
“ I know your ability so i give it to you. Just keep it, you can enter whenever you want. Prof. Aston is too corious about your ability but just go home first and build your career in your country. If you are ready, just go “, ujar Prof. Tsuji.
“ Thank you very much, Prof. You’re very kind “.
“ Thank you, Mr, Mrs for your belief to me to teach your daughter. She is a great one “.
            Ayahku mengganggukkan kepalanya dan ibuku tersenyum sambil menepuk pundakku. Ini jalanku. Aku sudah mengemas semuanya dan bersiap pulang. Dari jendela pesawat kulihat kota Boston untuk terakhir kalinya. Mungkin aku bisa kembali ke kota ini suatu saat nanti. Pernikahanku dengan senpai yang tak kuketahui sudah disiapkan sedemikian rupa. Begitu seminggu aku menginjakkan kaki di Indonesia, acara akad nikah dilangsungkan. Aku mengundang beberapa temanku. Mereka terkejut karena aku tidak menikah dengan Kak Putra, temanku dari FK UNAIR. Aku menantikan prosesi akad dari dalam kamar. Jujur tanganku sangat gemetar. Di sana ayah sedang berhadapan dengan pria itu. Pria yang sebentar lagi akan memimpinku dalam biduk rumah tangga.
            Ibu menggenggam tanganku. Ia menatapku lembut.
“ Itu yang ibu rasakan dulu saat ayahmu melakukan akad nikah. Tenang saja. Allah pasti mempermudah pernikahan kalian. Ibu hanya berpesan jaga baik-baik kehormatan keluargamu. Kamu berpendidikan. Kamu tahu apa yang baik dan benar. Gunakan akalmu, ilmu agamamu, dan logikamu. Kamu menerima untuk menempuh hidup baru. Kehidupan yang mana ibu dan bapakmu tidak mempunyai tempat di dalamnya, atau salah seorang dari saudaramu. Dalam kehidupan tersebut, kamu menjadi teman bagi suamimu, yang tidak menginginkan seorangpun ikut campur dalam urusanmu, bahkan juga daging darahmu. Jadilah istri untuknya dan jadilah ibu untuknya. Kemudian jadikanlah ia merasakan bahwa kamu adalah segala-galanya dalam kehidupannya, dan segala-galanya di dunia “.
            Air mataku meleleh. Ibu terus menatapku. Matanya menampakkan ketenangan.
“ Ingatlah selalu, laki-laki anak-anak atau dewasa memiliki kata-kata manis yang lebih sedikit, yang dapat membahagiankannya. Janganlah kamu membuatnya berperasaan bahwa dia menikahimu menyebabkanmu merasa jauh dari keluarga dan sanak kerabatmu. Sesungguhnya perasaan ini sama dengan yang ia rasakan, karena dia juga meninggalkan rumah orang tuanya, dan keluarga karena dirimu. Tetapi perbedaan antara dia dan kamu adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan, dan perempuan selalu rindu kepada keluarga dan tempat ia dilahirkan, berkembang, besar dan menimba ilmu pengetahuan. Akan tetapi sebagai seorang isteri ia harus kembali kepada kehidupan baru. Dia harus membangun hidupnya bersama laki-laki yang menjadi suami dan perlindungannya, serta bapak dari anak-anaknya. Inilah duaniamu yang baru. Inilah kenyataan yang kamu hadapi dan inilah masa depanmu. Inilah keluargamu, dimana engkau dan suamimu bekerja sama dalam mengarungi bahtera rumah tannga. Adapun bapakmu, itu dulu. Sesungguhnya aku tidak memintamu untuk melupakan bapakmu, ibumu dan sanak saudaramu, karena mereka tidak akan melupakanmu selamanya. Bagaimana mungkin seorang ibu melupakan buah hatinya. Akan tetapi aku memintamu untuk mencintai suamimu dan hidup bersamanya, dan kamu bahagia dengan kehidupan berumu bersamanya “.
            Ibu selalu seperti ini. Selalu kuat meski tahu mungkin aku akan jarang bersamanya. Akan tak ada saat dia rindu. Aku ingin egois dengan tidak meninggalkan ibu tapi ibu mengatakan aku harus menuruti suamiku. Sepupuku menarikku dan membawaku ke arah punggung pria yang duduk di sana. Ibu menguatkanku. Ini akhirnya. Aku menundukkan kepala pada kedua orang tua yang kutahu adalah kakek dan nenek suamiku kini. Keduanya terlihat tua namun terlihat bahagia melihat cucu mereka menikah. Kududukkan diriku di sampingnya dan menandatangani beberapa berkas. Aku mengarahkan kepalaku untuk mencium tangannya. Aku masih takut menatapnya. Tangannya putih bersih khas orang Jepang. Kucium tangan suamiku dan masih menundukkan kepalaku. Air mata yang kutahan akhirnya jatuh juga. Kecupan ringan di puncak kepalaku yang tertutupi kerudung berwarna peach. Ia menarik tanganku yang terbaluti shiromuku. Ia memasukkan sebuah cincin berwarna putih ke jari tanganku. Batu safir kecil melekat di atasnya.
            Aku memasangkan cincin dari perak ke jari tangannya. Sepupu dari pihak ibu tak henti-henti mengeluarkan tangisannya. Mereka berkata kalau adik kecilnya ini sudah dimiliki orang lain. Ketika kumendongakkan kepalaku, aku mengenalinya, dia Misaki-senpai. Akakura Misaki. Orang yang kukira tak akan kutemui. Ia tersenyum tipis. Beberapa temanku mengajakku mengajar di universitasku dulu tapi kutolak karena aku masih ingin mengabdi di masyarakat. Misaki memutuskan kami untuk tinggal di Indonesia sebelum dua tahun lagi kami berangkat ke Inggris untuk mengadu nasib. Pagi hari setelah akad nikah, sepupu dan ibuku meledekku dengan mengatakan malam pertama. Ya semuanya memang biasa saja. Aku bekerja di salah satu rumah sakit di kotaku. Begitu juga dengan Misaki.
            Ibu benar. Aku bisa jadi lebih dewasa saat aku menikah. Setelah dua tahun, aku pamit pada ibu dan ayah. Ayah dan ibu mengantarku hingga pintu keberangkatan. Akayuki, bayiku yang baru saja lahir harus bertahan bersama kami di negeri perantauan. Satu pesan ibu saat itu, “ kamu sudah dewasa. Kami bangga padamu, jadilah ibu yang baik dan rawatlah ia dengan baik. Kamu dan suamimu akan sukses. Ibu dan ayah akan mendoakan kalian “.
 

Jumat, 27 November 2015

Tentang Ayah



Sebuah cerpen sederhana yang menunjukkan betapa berharganya seorang ayah bagi seorang anak perempuannya - Itsuka Akira

“ Melamun apa ? “ tanya suamiku, Akakura Misaki sambil memeluk pinggangku.
Aku tersenyum simpul melihat pemandangan kota Kyoto. Banyak yang berubah tetapi aku tetap suka dengan Kyoto.
“ Ayah. Kamu tahu kan aku menyayangi ayah. Aku teringat beliau selalu mengantarkanku saat aku akan kembali ke kampus meski hujan deras. Aku rindu ayah, Misaki “, uraiku sambil berderai air mata.
Ia mengelus puncak kepalaku yang tertutup jilbabku.
“ Kita mengunjungi ayah bulan depan ? Aku tahu kamu kosong. Akayuki dan Shintaro juga sepertinya rindu kakek dan neneknya di Indonesia “.
Aku pun menganggukkan kepala. Rasa senang dan bahagia membuncah. Aku bukan orang yang bisa jujur jika itu tentang perasaan tetapi Misaki yang mengerti diriku sudah lebih dari cukup.
            Misaki mencium puncak kepalaku. Di usiaku yang tak muda lagi, aku bersyukur mempunyai keluarga yang mengerti diriku. Malam ini, aku melihat bulan lebih bersinar dari pada hari sebelumnya. Ya Allah, biarkan aku menikmati ini. Sebersit ingatan tentang ayah merasuki pikiranku. Kupandangi wajah suamiku. Tampan seperti dulu. Aku pun mengerti dia punya banyak beban akibat masa lalunya. Ia masih belum bisa bertemu dengan keluarganya. Setelah kami menikah beberapa tahun lalu, tepatnya 11 tahun lalu, Misaki memutuskan tinggal di Indonesia hingga Akayuki lahir dan setelahnya kami pergi ke Inggris untuk mengembangkan karir kami berdua. Dua tahun lalu, tepatnya 12 Mei, aku kembali ke Kyoto setelah tinggal di Indonesia selama setahun. Misaki menolak tinggal di Osaka karena alasan adanya keluarga angkatnya. Misaki bahkan mengganggap ayahku seperti ayahnya. Jarang yang seperti itu.
            Pagi harinya, aku mengantar Shintaro ke sekolahnya. Misaki sudah lebih dulu pergi ke rumah sakit karena ada kondisi gawat darurat. Akayuki sudah pergi sendiri ke sekolah. Kulambaikan tangan saat Shintaro berlari masuk. Anak lelakiku sudah berusia 4 tahun, berarti aku semakin tua, pikirku. Saat kubalikkan badan, seorang wanita menyenggolku dan dengan refleks, aku menundukkan kepala sambil berkata gomen nasai. Kuangkat kepalaku dan kulihat wajah kakak ipar angkatku. Garis wajahnya masih awet muda meski beberapa keriput terlihat.
“ Onee-sama “, ujarku.
Dia menyunggingkan senyuman kalemnya.
“ Hana ? Hissashiburi desu ne ? Genki desuka ? “
“ O-hissasiburi, Onee-sama. Yokkata, watashi wa genki desu “.
“ Hana, ada yang ingin aku bicarakan. Ini masalah Otou-sama “.
“ Hai, onee-sama “.
“ Sepedamu taruh saja di bagasi mobilku. Kita ke rumah utama sekarang karena kami juga sudah pindah “.
            Kuanggukkan kepalaku. Sepanjang perjalanan kami hanya diam. Aku dan Akia-Onee-sama bukan pasangan yang pas dalam perjalanan. Bukan ke rumah tapi Onee-sama membawaku ke rumah sakit terbesar di Kyoto. Aku terkejut. Ada apa ? Tapi pandangan Onee-sama tidak berubah. Onee-sama membuka pintu ruang VVIP. Aku terkejut ketika melihat Otou-sama terbaring dengan beberapa alat membantu kehidupannya. Sontak air mataku terurai. Kuarahkan pandangan pada Onee-sama.
“ Kesehatan Otou-sama menurun sejak Misaki pergi. Otou-sama memikirkan Misaki. Selama ini Misaki tidak pernah bekerja keras. Mungkin hanya perlu duduk dan memimpin rapat. Otou-sama mengkhawatirkan Misaki “.
Rasa bersalah menyelusup dalam hatiku. Air mataku mulai deras. Aku tahu Misaki ada di rumah sakit ini. Kubungkukkan badanku dalam-dalam.
“ Otou-sama, kumohon bangun. Misaki ada di sini. Aku akan membawa Misaki untuk Otou-sama. Anak lelaki Otou-sama ada di sini. Ya Allah, ijinkan ayah mertuaku bangun dari sakitnya dan jangan berikan ia lebih dari yang ia bisa tanggung atau angkatlah penyakitnya “, ujarku.
            Aku meminta ijin pada Onee-sama untuk keluar. Kulangkahkan kakiku cepat. Tak kupedulikan beberapa orang yang memandangku aneh kare tangisanku. Kubuka kasar pintu ruangan Misaki. Misaki terlihat lelah namun ia segera berdiri ketika aku ada di depannya.
“ Misaki, kumohon temui Otou-sama. Kumohon. Aku tidak akan meminta banyak hal. Aku minta kau menemui Otou-sama. Aku janji akan ada di rumah sebelum dirimu. Kumohon temui Otou-sama. Dia orang tuamu “.
Kulihat mukanya memerah melihat air mataku. Tangannya terkepal. Aku tahu dia marah.
“ Aku berdosa Misaki. Aku berdosa membiarkanmu tak mempedulikan ayahmu. Misaki, aku mohon untuk terakhir kalinya, temui Otou-sama “.
“ Kenapa kau menyuruhku bertemu penipu itu ? Kamu tahu dia bahkan memukulku ? “
“ Misaki, apa kamu ingin Shintaro tidak menghormatimu karena kamu tidak menghormati Otou-sama ? Misaki, kumohon, kamu sebagai ayah tahu apa yang dirasakan Otou-sama. Kumohon temui dia meski kita bisa berpisah karenanya “.
            Misaki memelukku erat. Dalam hati, aku tahu, Otou-sama tidak pernah merestuiku menjadi menantunya karena Otou-sama punya yang lebih baik untuk pendamping Misaki dibandingkan aku. Kutarik tangan Misaki ke ruang rawat Otou-sama. Kulihat beliau sudah sadar. Aku tersenyum lega dan mendorong Misaki ke arah Otou-sama. Kulihat pandangan tajam Otou-sama dan aku sadar aku harus keluar tetapi Misaki menarik tanganku.
“ Ada Hana atau tidak sama sekali. Dia istriku. Dia ibu dari anak-anakku. Jadi apa yang ingin Otou-sama bicarakan ? “
Kuelus punggung Misaki tanda menahan emosinya. Setiap mereka bertemu, selalu ini yang terjadi. Aku tak tahu harus bagaimana lagi menyelesaikan masalah di antara mereka.
            Otou-sama memandang kami dengan pandangan yang tak dapat kuartikan.
“ Aku mendengar seorang berdoa tentangku. Aku tahu Akako tidak akan berdoa seperti itu karena dia atheis, begitu juga dengan keluargaku. Jujur aku tidak percaya Tuhan namun doa istrimu membuatku kembali. Terima kasih anakku “.
Aku tak dapat berbuat banyak mendengar ucapan Otou-sama. Air mataku berderai kembali dan Misaki memelukku. Ia mencium puncak kepalaku.
“ Aku ingin melihat kedua cucuku “, sahut Okaa-sama.
Kuanggukkan kepalaku dan menatap ke arah Misaki. Misaki hanya mengganggu tanpa senyuman. Aku tahu dia masih sakit dengan perlakuan Otou-sama. Ia bahkan tidak mau memandang langsung ke arah Otou-sama. Aku menepuk pundaknya.
“ Misaki, Allah saja Maha Pemaaf, kenapa seorang dokter Misaki tidak mau memaafkan ? Ayo jadi contoh untuk anakmu, Otou-san “.
            Akhirnya hubungan Misaki dan keluarga Juntaro membaik meski Misaki tak lagi menggunakan nama Juntaro di depan namanya. Okaa-sama mencoba perhatian tapi mulai dibalas meski ala kadarnya. Liburan kami yang akan datang sudah terencana. Akhirnya kami berangkat begitu Otou-sama keluar dari rumah sakit. Kami berempat menuju Indonesia. Mungkin saat di Bandara Kansai udara sangat dingin tapi begitu sampai di Surabaya rasanya kami seperti orang salah kostum. Adikku yang sekolah di SMA negeri terbaik di kotaku bahkan ingin membolos untuk menyambutku tapi langsung kubentak. Waktu berjalan cepat. Indonesia yang dulu tak ada di ingatanku. Bahkan kotaku bertransformasi lebih dari ekspektasiku.
            Seperti biasa Misaki, Shintaro, dan Yahya, adikku langsung mengerjakan set robot yang Misaki bawa. Aku menemui ayah yang masih betah bekerja di kebun kecil di rumah kami saat beliau tak ada tugas kantor.
“ Ayah “, ujarku.
Ayah berhenti dari aktivitasnya menyambung tanaman yang kupikir aneh tapi dari situ beliau memberikan uang kuliahku.
“ Ada apa ? “
Ayah langsung kupeluk. Air mataku meleleh. Aku merindukan bau khas ayah.
“ Maafkan Hana nggak bisa pulang setiap saat. Seusai dari Jepang, Hana kuliah di Amerika dan langsung pergi ke Inggris. Hana hanya beberapa saat pulang ke Indonesia. Hana sama sekali jarang di Indonesia. Hana pergi ke Prancis dan hanya beberapa tahun sekali ke Indonesia. Maafkan Hana. Bukankah anak perempuan harusnya berbakti pada orang tuanya lebih dari yang adik Hana. Hana sayang Ayah.. Hana sayang Ibu. Maaf kalau Hana tidak bisa membahagiakan kalian. Maafkan Hana saat Hana tidak ada di saat kalian rindu Hana. Maafkan perilaku Hana, ayah. Maafkan sikap Hana. Hana baru menyadari kalau selama ini Ayah memberikan lebih dari yang Hana kira. Maaf jika hari itu Hana tidak lulus SNMPTN dan SBMPTN. Maaf Hana membuat ayah bekerja keras tahun depannya lagi untuk membiayai kuliah Hana. Maafkan Hana “.
            Dengan tangan tuanya, Ayah mengusap kepalaku yang tertutupi jilbab.
“ Hana lebih dari pemikiran Ayah. Hana sudah melampaui apa yang Ayah harapkan. Hana bisa sukses saat ini Ayah sangat bahagia. Ayah bangga punya anak Hana. Jika boleh memilih, Ayah akan bekerja lebih keras untuk Hana. Hana sekarang bisa membiayai sekolah adik Hana dari Yahya SMP sampai sampai sekarang. Ayah bangga sama Hana “.
Dengan mata yang berkaca-kaca, aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Sore itu, undangan reuni SMAku datang. Misaki membuka lagi praktek dokterku di rumah. Hari itu juga rumah diserbu tetanggaku yang berobat. Kedatanganku ke rumah selalu jadi cerita di kalangan tetanggaku. Aku tahu aku jarang di rumah dan mereka selalu ingin tahu jadi apa aku di luar sana.
            Adik sepupuku yang sangat suka dengan hal-hal berbau Korea liburan di rumahnya bersama keluarganya. Dia sudah menjadi konsultan di Konsul Jendral Korea Selatan di Surabaya. Aku bangga padanya. Adiknya, Dinda, kini bersekolah di tempat yang sama dengan adikku, Yahya. Sore itu banyak yang ingin kubicarakan. Misaki sendiri banyak menyimak cerita keluargaku. Kami sekeluarga berkumpul di ruang tengah rumahku dan bercerita banyak hal. Akayuki dan si kecil, Shintaro dengan riangnya berceloteh tentang Jepang. Aku hanya menggangguk bahagia. Saat di dapur, ibuku dan nenek membantuku memasak.
“ Hana tahu nggak, Hana dulu juga seperti Akayuki sama Shintaro. Dulu ketika kecil, Hana hiperaktif, ke sana kemari. Ibu senang melihat kamu tumbuh dewasa “.
            Kusunggingkan senyumku. Ibu memang selalu menganggapku gadis kecilnya. Yahya mengajak Shintaro dan Akayuki untuk bermain basket. Ayah dan Misaki sibuk di kebun kecil kami. Mereka sangat tertarik dengan flora. Saat aku membawakan dua cangkir kopi, kudengar Misaki dan ayah bercakap-cakap. Usai menaruh cangkir kopi ayah dan Misaki, aku pergi dan memandang mereka dari jauh. Ibu menepuk bahuku.
“ Kamu tahu, ketika kamu pergi ke Jepang, ayahmu selalu berdoa di musholla lebih lama dari pada biasanya. Ibu melihat setiap malam, ayahmu tahajud hanya untuk mendoakanmu. Ayah bahkan memandang foto wisudamu dengan tatapan bangga setiap paginya. Ayah menceritakanmu ke para anak buahnya. Ayahmu sangat bangga denganmu. Saat teman SMPmu yang dulu melamarmu ketika kamu melanjutkan post doktoralmu di Amerika, ayah menjawab dengan tegas untuk menolaknya. Ayah membiarkanmu meraih impianmu karena ayah tahu Allah sudah memberikan jodoh yang terbaik untukmu. Ketika Misaki datang ke Indonesia dengan orang tua angkatnya, ayah bahkan menyuruh ibu membersihkan rumah dan ketika kamu menikah, ayah mengelus papan praktekmu dulu yang selalu ia simpan sebagai bukti anak kesayangannya sudah sukses “.
            Air mataku mencoba keluar. Ada hal yang menyeruak. Ayah sangat menyayangiku seperti ibu. Benar dulu saat ditanya, siapa dari orang tuamu yang meninggal duluan, aku menjawab, aku ingin mereka bersamaku. Kematian kakek membuat luka sendiri. Aku saat itu sedang bertugas sebagai penyaji di seminar internasional di Inggris untuk menjelaskan teori baruku. Aku tak ada di sana. Aku selalu berusaha membangun komunikasi dengan keluargamu meski hanya telpon dan berkunjung setiap musim panas atau musim dingin. Aku menghabiskan waktu di kotaku selama beberapa hari kemudian kuputuskan untuk ke Jember untuk mengunjungi keluargaku dari pihak ibu. Kakak-kakak ibuku menyambut dengan suka cita. Beberapa sepupuku langsung mengajakku mengambil banyak oleh-oleh hasil bumi dan kujawab dengan gelengan kepala.
            Akayuki dan Shintaro diajak oleh sepupu-sepupunya ke sawah dan dibalas dengan keingintahuan besar. Pakde, begitu aku memanggil Omku, memberiku wejangan untuk mengunjungi mereka dan orang tuaku lebih sering. Kami hanya sehari dan kembali ke kotaku. Sudah hampir sebulan, aku dan keluargaku di rumah orang tuaku. Tiba-tiba, telpon dari rumah sakit ada pasien yang hanya bisa kutangani. Aku kecewa. Aku sedih. Aku tidak bisa bersama ayah lagi. Aku menangis. Misaki menghampiriku.
“ Hana, ada apa ? “
“ Ada pasien yang harus kutangani. Kawada-sensei menolak menanganinya. Aku masih ingin di sini “.
“ Biar aku telpon temanku yang di Kansai Hospital ....”.
“ Ayah mau hanya kamu pulang tapi kamu punya tugas. Sebagai dokter, kamu harus berangkat besok. Ayah nggak mau kamu lalai dari tugasmu karena keluarga. Kamu harus konsisten memilih pekerjaan dan risikonya. Ayah mau kamu jadi orang yang profesional “.
            Aku kaget ayah mengatakan seperti itu. Jujur, aku masih ingin di rumah tempatku dibesarkan. Bolehkan aku jadi egois kali ini saja ? Ayah membantuku mengemas barang. Ayah bahkan mengantarku bersama ibu dengan bantuan tetanggaku yang bisa menyetir mobil. Saat akan masuk ke ruang tunggu, aku memeluk ayah lama sekali. Aku tidak ingin pergi. Air mata tidak lagi bisa dibendung. Satu yang kuingat dari ayah.
“ Hana, ingat ya, Hana bekerja untuk membantu orang lain bukan untuk menumpuk uang yang harusnya bukan milik Hana. Hana harus konsisten dan profesional. Hana tetap jadi anak kebanggaan ayah dan ibu. Hana tetap gadis kecil ayah yang akan ayah tunggu kepulangannya. Ayah sayang Hana “.
Air mataku meleleh. Misaki sampai harus menepuk-nepuk pundakku agar aku kuat. Pengumuman boarding pesawat terdengar dan artinya sebentar lagi pesawat akan take off. Kulambaikan tanganku dan menuntun kedua anakku. Aku hanya bisa berdoa untuk ayahku. Ayah terhebat di dunia. Ayah yang hanya mengerti diriku dan membuatku sekuat ini. Terima kasih Ayah.

Jumat, 20 November 2015

Serangan di Paris dan Nasib Para Kaum Muslim



            Banyak terngiang di benakku, apa yang sebenarnya mereka, para pelaku tindakan terorisme pikirkan ? Kenapa di benak mereka hanya ada peperangan dan anti-barat ? Apa yang salah dari mereka ? Memang Negara Barat dianggap sebagai salah satu penyebab terjadinya konflik di Timur Tengah dan hal-hal yang lain. Sebelumnya apa pernah mereka melihat tindakan yang akan mereka lalukan membuat antipati terhadap kondisi kaum muslim di sana ? Islam itu adalah agama perdamaian. Kita hanya boleh mengangkat senjata saat kita benar-benar diserang. Sebelum mengangkat senjata dan menyatakan perang, bukankah masih ada jalur diplomatik seperti dialog ? Dibandingkan dengan melakukan aksi-aksi terorisme semacam serangan di Paris, bukankah lebih baik otak para terorisme itu digunakan untuk membangun negerinya agar setara dengan negeri Barat ?
            Islam pernah mengalami abad kejayaan saat Eropa masih dilanda era Dark Middle Age yang saat itu Islam tepatnya Dinasti Abbasyiyah mengembangkan berbagai ilmu yang didapat dari hasil riset perkembangan Yunani sehingga mereka bisa menunjukkan Muslim  bukan hanya hebat karena penyebaran agamanya tetapi juga ilmu pengetahuannya. Kenapa harus dengan kekerasan ? Dengan serangan di Paris bukankah akan menjadikan para kaum muslim dicekam berbagai aksi rasisme dari mereka kelompok anti-Islam sehingga aktivitas mereka bisa terganggu. Ingat Islam bukan hanya ada di Timur Tengah, Turki dan di Asia saja. Islam ada di Eropa dan Amerika. Islam ada di sana sebagai agama minoritas. Para muslim di sana bukan hanya bekerja sebagai pekerja kasar tetapi mereka juga bekerja sebagai seorang guru, siswa, bahkan beberapa pekerjaan yang menunjukkan level keilmuwan mereka.
             Kenapa harus ada aksi terorisme ? Kenapa ? Apa yang dipikirkan para teroris di luar sana ? JIHAD BUKAN TERORISME. Al Qur’an tidak pernah dan tidak sekali-kali mengajarkan adanya pemaksaan dan pengangkatan senjata saat kondisi sedang damai. Tolong pikirkan kondisi para saudara kita yang ada di Eropa sana. Mereka sudah kenyang dengan aksi rasisme dari orang yang terkena islamophobia, apa kalian tega menambah penderitaan mental mereka ? Mungkin mereka para terorisme belum dewasa. Kenapa ? Karena ada saudara mereka yang terkena dampak negatif dari perilaku mereka dan mereka bertindak tanpa berpikir akibat dari perilaku mereka terhadap lingkungan dan identitas keagamaan mereka. Allah tidak pernah memerintahkan kita melakukan kekerasaan dengan alasan kebencian semata karena kebencian yang timbul di hati kita justru menyebabkan kita akan selalu berada di bawah hal atau orang yang kita benci. Benci berarti tanda kita tidak mampu dan itu membuat kita selalu di bawah dan akan terus di bawah meski sekeras apa pun kita berusaha. ISLAM ADALAH AGAMA DAMAI. KAMI, PARA MUSLIM BUKAN TERORIS. I AM MUSLIM AND I AM NOT TERORIST. I AM MUSLIM AND I WANT TO SHOW YOU HOW I DESCRIBE MY NAME IN HISTORY IF I AM MUSLIM WHO EXCEL EXCEEDS WHAT IS IN MY DREAMS THE WAY I LEARNED AND CONTINUE TO EXCEL IN ACADEMICS. 

              Ingat Firman Allah dalam Al Qur’an : 


"Diwajibkan atas kamu berperang padahal (berperang) itu adalah sesuatu yang kamu benci. 

Dan boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia baik bagi kamu, dan boleh jadi (pula) 
kamu menyukai sesuatu padahal ia buruk bagi kamu. Allah mengetahui, sedang kamu 
tidak mengetahui." (QS al-Baqarah [2]: 216).
"Telah diizinkan bagi orang-orang yang diperangi (untuk berperang membela diri), 
karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah Mahakuasa dalam 
hal memenangkan mereka." (QS al-Hajj [22]: 39).
Ingat perang hanya saat kita benar-benar tersakiti dan agama kita diinjak-injak. Sebelum itu kita 
harus dalam fase bersabar dan menunjukkan kehebatan kita dengan cara kita berprestasi.
 Gunjingan itu pasti ada dan akan terus ada. Akan tetapi bukankah Allah menyuruh kita bersabar ? 
Muslim itu terkenal dengan kesabarannya. 
               Kekerasan hanya menjadikan kita dianggap barbar dan tidak punya aturan. Jadi bukankah 
lebih baik kita berprestasi ? Kita agama damai. Jihad bukan hanya mengangkat senjata tetapi jihad 
bisa kita lakukan dengan cara belajar dan memberi sumbangsi keilmuwan terhadap dunia. Muslim 
di Eropa dan negara minoritas muslim adalah agen yang memperkenalkan kalau Islam bukan 
Teroris tetapi Islam adalah agama yang damai. Mereka agen yang merubah pandangan para 
pembenci Islam menjadi pencinta Islam. Mereka agen dakwah sesungguhnya. Banyak dari mereka 
teguh dengan syariatnya, menjalankan semua perintah Allah di tengah lingkungan yang
 mempersulit mereka. Kita sering mengganggap dakwah kita sudah cukup, tapi lihat mereka,
 para muslim Eropa ? Mereka menjalankan syariat dengan teguh. 

              Kita saja yang berada di negara yang bebas melakukan kegiatan religi kita saja, 
muslim Indonesia banyak yang malas tetapi lihat mereka saudara kita di Eropa, Jepang, Amerika,
mereka bekerja keras demi kemajuan ilmu dan juga menjalankan syariat. Memang mereka 
di antaranya baru saja memeluk islam tetapi langkah dakwah mereka lebih tinggi dari kita. 
Langkah mereka bukan dakwah melalui lisan tetapi dengan perbuatan dan prestasi mereka. Islam 
agama yang membuat semua orang bisa tetap berprestasi dan Islam adalah agama damai. 
Semoga suatu hari nanti para teroris yang mengatasnamakan islam tahu dan sadar juga meminta 
maaf pada setiap umat Islam kalau mereka salah dan mereka pantas dihukum. Semoga mereka, para
 teroris sadar sebelum Allah memberikan azab pedih selama di alam kubur dan akhirat. Islam 
BUKAN agama yang menyuruh menumpahkan darah tetapi Agama yang Mengajarkan Kita untuk 
Memuliakan Sesama Manusia dan Menyebarkan Kedamaian. Islam adalah Agama Damai.