Ibu
memang tak sekuat tentara tetapi hatinya melebihi kuatnya baja. Aku
mencintaimu, Ibu - Itsuka Akira
“
Hana, kamu sudah besar sekarang. Kamu harus menentukan semuanya sendiri. Ibu
sama Ayah hanya bisa mendoakanmu dari sini “, ujar Ibu saat aku ada di bandara
waktu itu.
Seakan
kata itu masih terngiang di pikiranku. Sudah 5 tahun kutinggalkan negeri tercinta
demi meraih sejumput ilmu di negeri orang. Merantau dari kota ke kota. Dari
negeri matahari terbit hingga ke negeri adidaya. Sudah selama itu aku belum
pulang ke rumah. Impian menjadi Professor di bidang kardiovaskular dan bedah thoraks
kardiovaskuler membawa langkahku berakhir di sini. Di negeri Paman Sam. Sudah
hampir setahun aku berkutat dengan penelitian ini itu demi gelar profesorku.
Foto keluargaku masih terpajang
manis di meja kerjaku. Kugerakkan kepalaku. Rasanya sedikit tidak enak. Mungkin
karena aku terus berkutat dengan data-data dan buku tebal ini. Aku masih
menghitung kemungkinan keberhasilan metode yang kutemukan ini. Aku juga
menghabiskan banyak waktuku untuk berkonsultasi pada Profesor-profesor senior
di sini. Harvard Medical School adalah tempatku mulai membangun kepercayaan
diri. Setahun ini aku memmfokuskan diri untuk meneliti dan membantu beberapa
mahasiswa S1 dari Harvard University.
“
Hi, Hana, let’s get dinner. Oh girls, look at your self “, teriak temanku,
William Stanford.
“
Sorry, Mr. Stanford. I have to look my research. Go dinner with your girlfriend
“.
“
Aish, little brat. Up to you. I’ll go “.
“
Bye, Mr. Stanford “, lambaiku.
Aku biasanya memanggil teman-teman
seperjuanganku di sini dengan julukan Mr atau Miss. Ya memang usia mereka lebih
tua dariku yang masih di garis 27 tahun. Bicara soal ibu, jujur saja aku kangen
dengan Indonesia.
nae salmi haruharu kkumeul kkuneun geotcheoreom
neowa hamgge majubomyeo saranghalsu itdamyeon
dasi ileoseol geoya
Kulihat
deretan huruf membentuk kata yang kurindukan.
“
Assalamu’alaikum. Ibu, ini Hana. Ibu apa kabar ? “
“
Wa’alaikumsalam. Ibu sama semuanya baik-baik saja. Kamu gimana di Amerika,
sehat nduk ? Asmamu nggak kambuh kan ? Sekarang di sana musim dingin nduk,
jangan lupa pakai baju tebal, pakai jaket “.
Seketika air mataku meluncur. Semua
kata-kata ibu masih sama seperti dulu. Beliau selalu menasehatiku dan memberi
perhatian padaku. Kugigit bibir bawahku agar tangis ini tak meluncur.
“
Hana baik bu. Asma Hana udah nggak kambuh lagi. Ibu nggak usah khawatir Hana
bisa jaga diri. Sebelumnya Hana minta maaf kemarin sempat telat transfer buat
sekolah Yahya karena beberapa minggu ini ada tiga pasien yang kondisinya nggak
stabil “.
“
Ya, Ibu ngerti. Hana, ayah menolak lamaran dari teman SMPmu dulu. Jawaban Hana
untuk lamaran Ridwan gimana ? “
Deg.
Jantungku terasa berhenti berdetak. Sejak aku kelas 3 SMP, nama itu sudah
hilang dari pikiranku. Kuhembuskan napasku pelan.
“
Apa yang ayah jawab itu adalah yang terbaik buat Hana. Hana akan mengikuti
pilihan orang tua Hana karena Hana percaya ayah dan ibu pasti memberikan yang
terbaik buat Hana “.
Di seberang sana kudengar suara ibu
berdiskusi dengan ayah.
“
Begini, hari ini ada yang melamarmu. Katanya kakak tingkatmu ketika di Jepang
dulu. Dia meminta kamu untuk menjadi istrinya. Dia mualaf sejak kelulusannya
dari Kyoto University. Dia dan keluarganya datang jauh-jauh dari Jepang hanya
untuk ini. Bagaimana jawabanmu Hana ? “
Sekali
lagi tamparan telak mengenaiku. Siapa ? Siapa dia ?
“
Ibu tahu kamu ragu. Ibu mau kamu sholat istikharah dulu. Pasrahkan sama Allah
“.
Aku
tak mampu bersuara. Inikah akhir penantianku selama ini ? Misaki-senpai, kamu
di mana ?
“
Ya bu, Hana menerimanya jika orang itu ibu dan ayah pandang baik untuk Hana “.
Ucapan syukur menyerbu gendang
telingaku. Mungkin ini takdir Allah. Aku harus bersama orang yang bukan menjadi
tambatanku tetapi Allah memberikan imam terbaiknya kepadaku. Beberapa ucapan
setelahnya membuatku terdiam hingga dering telpon berakhir. Ibu, apa benar
jalan yang Hana ambil ini ? Kulepaskan pulpen yang sedari tadi kumainkan.
Kupandangi sebuah foto yang berasal dari 4 tahun lalu. Fotoku dengan
Misaki-senpai saat kelulusannya. Jujur tidak ada pengikat apa-apa di antara
kami. Hanya sebuah janji di atas ikrar nama Tuhan tanpa ikatan apa-apa.
Kubereskan meja kerjaku dan kulangkahkan kaki pulang. Jam tanganku sudah
menunjuk angka sepuluh. Jam 10 malam waktu Boston.
Suara musik ala korea masih
terdengar dari flat tempat tinggalku begitu kumembuka pintu ruang tamu. Seorang
juniorku yang mengenyam pendidikan S2 bedah thoraks kardiovaskular di kampusku
masih menekuni drama Korea di laptopnya. Kusunggingkan senyumanku.
“
Lihat apa ? Udah jam 11 lho. Nggak baik buat badanmu “.
“
Ih Kak Hana, ngagetin Saras aja. Ini lagi lihat drama terbaru. Ganteng lho
pemainnya “.
Kuacak
rambut panjangnya.
“
Ya deh, ganteng tapi masih gantengan Kyuhyun Suju. Udah kamu istirahat sana.
Dramanya dilanjut besok aja. Lagi pula kamu nggak ada kuliah musim dingin kan ?
“.
Dianggukkan
kepalanya sambil mengancungkan jempolnya. Aku tahu Saras tidak akan menuruti
ucapanku. Dia benar-benar Korean addict. Sholat Isya’ku sudah kulakukan di
kampus. Rasanya tulangku mau copot semua. Tadi pagi aku sudah sport jantung dengan
kondisi dari pasien Prof. Gerrard. Prof. Gerrard sedang ada di Inggris jadi
semua tugas mengawasi pasiennya jatuh padaku.
Kuambil handuk dan baju gantiku. Aku
rasa aku perlu mandi. Meski kamar mandiku di dalam kamar, teman seflatku
biasanya langsung masuk begitu saja ke dalam kamar dan mulai merecokiku masalah
abc. Usai mandi kuusap rambutku yang masih basah. Kubuka laptopku. Beberapa
e-mail adikku masuk. Dia bilang yang melamarku sangat tampan dan baik. Aku
hanya bisa tersenyum tipis. Berarti kesempatan Misaki-senpai sudah hilang.
Sudah 4 tahun komunikasiku dengan Misaki-senpai terputus dan aku tidak tahu
kabar apapun mengenai Misaki-senpai.
Sejak hari itu, aku mulai memforsir
diriku untuk bekerja lebih keras agar proposalku dapat diajukan pada sidang
untuk gelar profesor bedah thoraks kardiovaskularku musim semi depan. Saras,
Desita, Kak Rara, Kak Prita mengkhawatirkan cara kerjaku baik di rumah sakit
maupun di kampus. Aku bekerja hampir selama 16 jam sehari. Aku mencoret
beberapa bagian yang salah. Memperbaikinya lagi dari awal. Awal musim semi, aku
menghadap Profesor Gerrard dan hasilnya proposalku akan diajukan di sidang
kedua minggu pertama bulan April. Telpon ibu terus menerus berdatangan.
Memberikanku support untuk belajar lagi. Terkadang aku menangis di telpon
mendengar ibu bilang dia sudah bangga dengan apa yang kuraih. Tepat saat sidang
kuundang ibu, ayah, dan adikku untuk menghadiri sidang untuk gelar profesorku.
Udara di Boston masih cukup dingin
dan kusewakan ibu, ayah dan adikku sebuah flat di atas flatku selama beberapa
hari. Keesokan harinya, Ibu, ayah, dan adikku melihat bagaimana aku
mempertahankan hasil penelitianku di depan banyak profesor dari universitas
ternama di dunia, termasuk Prof. Tsuji Haruka yang memberiku jalan untuk belajar
di Harvard. Detik demi detik terasa menegangkan. Sambutan terakhirku membuat
ayah dan ibu menangis.
“
When i was a child, my younger brother had suffered Meningitis. He was a brave
child, good boy, but God has shown his ways, my brother passed away but in that
condition, i could not do anything for him. I just prayed for him. But, in my
deep heart, i was upset. Why was my brother ? Why could not i do something for
him ? I was depressed about him but now i want to say to him, Brother, your
sister had gotten what she want. I want to help other person with my ability.
For this tittle, i want to work hard and work again to repair my ability. Thank
you for my dad, my mom, my brother, Prof. Gerrard, Prof. Gilbert, Prof. White,
Prof. Tsuji, all of my colleagues. Thank you for your attention and good
afternoon “.
Tepuk tangan mendominasi hall
kampus. Usai acara beberapa kawan dan teman seflatku mengabadikan momen itu
dengan berfoto bersama. Prof. Gerrard dan Prof. Tsuji berbicara dengan bangga
di depan orang tuaku. Dari sudut pandangku, Ibu sangat bangga dengan semua
hasil prestasiku. Prof. Tsuji memberikan selembar amplop coklat tebal persis
saat aku lulus S3 dari Tokyo University setahun lalu. Wajah tak percaya
kutunjukkan begitu kertas seukuran F4 bertuliskan penerimaanku sebagai asisten
profesor di Cambridge University dan dokter di salah satu rumah sakit ternama
di Inggris.
“
I know your ability so i give it to you. Just keep it, you can enter whenever
you want. Prof. Aston is too corious about your ability but just go home first
and build your career in your country. If you are ready, just go “, ujar Prof.
Tsuji.
“
Thank you very much, Prof. You’re very kind “.
“
Thank you, Mr, Mrs for your belief to me to teach your daughter. She is a great
one “.
Ayahku mengganggukkan kepalanya dan
ibuku tersenyum sambil menepuk pundakku. Ini jalanku. Aku sudah mengemas
semuanya dan bersiap pulang. Dari jendela pesawat kulihat kota Boston untuk
terakhir kalinya. Mungkin aku bisa kembali ke kota ini suatu saat nanti.
Pernikahanku dengan senpai yang tak kuketahui sudah disiapkan sedemikian rupa.
Begitu seminggu aku menginjakkan kaki di Indonesia, acara akad nikah
dilangsungkan. Aku mengundang beberapa temanku. Mereka terkejut karena aku
tidak menikah dengan Kak Putra, temanku dari FK UNAIR. Aku menantikan prosesi
akad dari dalam kamar. Jujur tanganku sangat gemetar. Di sana ayah sedang
berhadapan dengan pria itu. Pria yang sebentar lagi akan memimpinku dalam biduk
rumah tangga.
Ibu menggenggam tanganku. Ia
menatapku lembut.
“ Itu yang ibu rasakan dulu saat ayahmu
melakukan akad nikah. Tenang saja. Allah pasti mempermudah pernikahan kalian.
Ibu hanya berpesan jaga baik-baik kehormatan keluargamu. Kamu berpendidikan.
Kamu tahu apa yang baik dan benar. Gunakan akalmu, ilmu agamamu, dan logikamu. Kamu menerima untuk menempuh hidup baru. Kehidupan yang mana ibu dan
bapakmu tidak mempunyai tempat di dalamnya, atau salah seorang dari saudaramu.
Dalam kehidupan tersebut, kamu menjadi teman bagi suamimu, yang tidak
menginginkan seorangpun ikut campur dalam urusanmu, bahkan juga daging darahmu.
Jadilah istri untuknya dan jadilah ibu untuknya. Kemudian jadikanlah ia
merasakan bahwa kamu adalah segala-galanya dalam kehidupannya, dan
segala-galanya di dunia “.
Air mataku meleleh. Ibu
terus menatapku. Matanya menampakkan ketenangan.
“ Ingatlah selalu, laki-laki anak-anak atau dewasa memiliki kata-kata
manis yang lebih sedikit, yang dapat membahagiankannya. Janganlah kamu
membuatnya berperasaan bahwa dia menikahimu menyebabkanmu merasa jauh dari
keluarga dan sanak kerabatmu. Sesungguhnya perasaan ini sama dengan yang ia
rasakan, karena dia juga meninggalkan rumah orang tuanya, dan keluarga karena
dirimu. Tetapi perbedaan antara dia dan kamu adalah perbedaan antara laki-laki
dan perempuan, dan perempuan selalu rindu kepada keluarga dan tempat ia
dilahirkan, berkembang, besar dan menimba ilmu pengetahuan. Akan tetapi sebagai
seorang isteri ia harus kembali kepada kehidupan baru. Dia harus membangun
hidupnya bersama laki-laki yang menjadi suami dan perlindungannya, serta bapak
dari anak-anaknya. Inilah duaniamu yang baru. Inilah kenyataan yang kamu hadapi
dan inilah masa depanmu. Inilah keluargamu, dimana engkau dan suamimu bekerja
sama dalam mengarungi bahtera rumah tannga. Adapun bapakmu, itu dulu.
Sesungguhnya aku tidak memintamu untuk melupakan bapakmu, ibumu dan sanak
saudaramu, karena mereka tidak akan melupakanmu selamanya. Bagaimana mungkin
seorang ibu melupakan buah hatinya. Akan tetapi aku memintamu untuk mencintai
suamimu dan hidup bersamanya, dan kamu bahagia dengan kehidupan berumu
bersamanya “.
Ibu selalu seperti ini.
Selalu kuat meski tahu mungkin aku akan jarang bersamanya. Akan tak ada saat
dia rindu. Aku ingin egois dengan tidak meninggalkan ibu tapi ibu mengatakan
aku harus menuruti suamiku. Sepupuku menarikku dan membawaku ke arah punggung
pria yang duduk di sana. Ibu menguatkanku. Ini akhirnya. Aku menundukkan kepala
pada kedua orang tua yang kutahu adalah kakek dan nenek suamiku kini. Keduanya
terlihat tua namun terlihat bahagia melihat cucu mereka menikah. Kududukkan
diriku di sampingnya dan menandatangani beberapa berkas. Aku mengarahkan
kepalaku untuk mencium tangannya. Aku masih takut menatapnya. Tangannya putih
bersih khas orang Jepang. Kucium tangan suamiku dan masih menundukkan kepalaku.
Air mata yang kutahan akhirnya jatuh juga. Kecupan ringan di puncak kepalaku
yang tertutupi kerudung berwarna peach. Ia menarik tanganku yang terbaluti
shiromuku. Ia memasukkan sebuah cincin berwarna putih ke jari tanganku. Batu safir
kecil melekat di atasnya.
Aku memasangkan cincin
dari perak ke jari tangannya. Sepupu dari pihak ibu tak henti-henti
mengeluarkan tangisannya. Mereka berkata kalau adik kecilnya ini sudah dimiliki
orang lain. Ketika kumendongakkan kepalaku, aku mengenalinya, dia
Misaki-senpai. Akakura Misaki. Orang yang kukira tak akan kutemui. Ia tersenyum
tipis. Beberapa temanku mengajakku mengajar di universitasku dulu tapi kutolak
karena aku masih ingin mengabdi di masyarakat. Misaki memutuskan kami untuk
tinggal di Indonesia sebelum dua tahun lagi kami berangkat ke Inggris untuk
mengadu nasib. Pagi hari setelah akad nikah, sepupu dan ibuku meledekku dengan
mengatakan malam pertama. Ya semuanya memang biasa saja. Aku bekerja di salah
satu rumah sakit di kotaku. Begitu juga dengan Misaki.
Ibu benar. Aku bisa jadi
lebih dewasa saat aku menikah. Setelah dua tahun, aku pamit pada ibu dan ayah.
Ayah dan ibu mengantarku hingga pintu keberangkatan. Akayuki, bayiku yang baru
saja lahir harus bertahan bersama kami di negeri perantauan. Satu pesan ibu
saat itu, “ kamu sudah dewasa. Kami bangga padamu, jadilah ibu yang baik dan
rawatlah ia dengan baik. Kamu dan suamimu akan sukses. Ibu dan ayah akan
mendoakan kalian “.