Jumat, 27 November 2015

Tentang Ayah



Sebuah cerpen sederhana yang menunjukkan betapa berharganya seorang ayah bagi seorang anak perempuannya - Itsuka Akira

“ Melamun apa ? “ tanya suamiku, Akakura Misaki sambil memeluk pinggangku.
Aku tersenyum simpul melihat pemandangan kota Kyoto. Banyak yang berubah tetapi aku tetap suka dengan Kyoto.
“ Ayah. Kamu tahu kan aku menyayangi ayah. Aku teringat beliau selalu mengantarkanku saat aku akan kembali ke kampus meski hujan deras. Aku rindu ayah, Misaki “, uraiku sambil berderai air mata.
Ia mengelus puncak kepalaku yang tertutup jilbabku.
“ Kita mengunjungi ayah bulan depan ? Aku tahu kamu kosong. Akayuki dan Shintaro juga sepertinya rindu kakek dan neneknya di Indonesia “.
Aku pun menganggukkan kepala. Rasa senang dan bahagia membuncah. Aku bukan orang yang bisa jujur jika itu tentang perasaan tetapi Misaki yang mengerti diriku sudah lebih dari cukup.
            Misaki mencium puncak kepalaku. Di usiaku yang tak muda lagi, aku bersyukur mempunyai keluarga yang mengerti diriku. Malam ini, aku melihat bulan lebih bersinar dari pada hari sebelumnya. Ya Allah, biarkan aku menikmati ini. Sebersit ingatan tentang ayah merasuki pikiranku. Kupandangi wajah suamiku. Tampan seperti dulu. Aku pun mengerti dia punya banyak beban akibat masa lalunya. Ia masih belum bisa bertemu dengan keluarganya. Setelah kami menikah beberapa tahun lalu, tepatnya 11 tahun lalu, Misaki memutuskan tinggal di Indonesia hingga Akayuki lahir dan setelahnya kami pergi ke Inggris untuk mengembangkan karir kami berdua. Dua tahun lalu, tepatnya 12 Mei, aku kembali ke Kyoto setelah tinggal di Indonesia selama setahun. Misaki menolak tinggal di Osaka karena alasan adanya keluarga angkatnya. Misaki bahkan mengganggap ayahku seperti ayahnya. Jarang yang seperti itu.
            Pagi harinya, aku mengantar Shintaro ke sekolahnya. Misaki sudah lebih dulu pergi ke rumah sakit karena ada kondisi gawat darurat. Akayuki sudah pergi sendiri ke sekolah. Kulambaikan tangan saat Shintaro berlari masuk. Anak lelakiku sudah berusia 4 tahun, berarti aku semakin tua, pikirku. Saat kubalikkan badan, seorang wanita menyenggolku dan dengan refleks, aku menundukkan kepala sambil berkata gomen nasai. Kuangkat kepalaku dan kulihat wajah kakak ipar angkatku. Garis wajahnya masih awet muda meski beberapa keriput terlihat.
“ Onee-sama “, ujarku.
Dia menyunggingkan senyuman kalemnya.
“ Hana ? Hissashiburi desu ne ? Genki desuka ? “
“ O-hissasiburi, Onee-sama. Yokkata, watashi wa genki desu “.
“ Hana, ada yang ingin aku bicarakan. Ini masalah Otou-sama “.
“ Hai, onee-sama “.
“ Sepedamu taruh saja di bagasi mobilku. Kita ke rumah utama sekarang karena kami juga sudah pindah “.
            Kuanggukkan kepalaku. Sepanjang perjalanan kami hanya diam. Aku dan Akia-Onee-sama bukan pasangan yang pas dalam perjalanan. Bukan ke rumah tapi Onee-sama membawaku ke rumah sakit terbesar di Kyoto. Aku terkejut. Ada apa ? Tapi pandangan Onee-sama tidak berubah. Onee-sama membuka pintu ruang VVIP. Aku terkejut ketika melihat Otou-sama terbaring dengan beberapa alat membantu kehidupannya. Sontak air mataku terurai. Kuarahkan pandangan pada Onee-sama.
“ Kesehatan Otou-sama menurun sejak Misaki pergi. Otou-sama memikirkan Misaki. Selama ini Misaki tidak pernah bekerja keras. Mungkin hanya perlu duduk dan memimpin rapat. Otou-sama mengkhawatirkan Misaki “.
Rasa bersalah menyelusup dalam hatiku. Air mataku mulai deras. Aku tahu Misaki ada di rumah sakit ini. Kubungkukkan badanku dalam-dalam.
“ Otou-sama, kumohon bangun. Misaki ada di sini. Aku akan membawa Misaki untuk Otou-sama. Anak lelaki Otou-sama ada di sini. Ya Allah, ijinkan ayah mertuaku bangun dari sakitnya dan jangan berikan ia lebih dari yang ia bisa tanggung atau angkatlah penyakitnya “, ujarku.
            Aku meminta ijin pada Onee-sama untuk keluar. Kulangkahkan kakiku cepat. Tak kupedulikan beberapa orang yang memandangku aneh kare tangisanku. Kubuka kasar pintu ruangan Misaki. Misaki terlihat lelah namun ia segera berdiri ketika aku ada di depannya.
“ Misaki, kumohon temui Otou-sama. Kumohon. Aku tidak akan meminta banyak hal. Aku minta kau menemui Otou-sama. Aku janji akan ada di rumah sebelum dirimu. Kumohon temui Otou-sama. Dia orang tuamu “.
Kulihat mukanya memerah melihat air mataku. Tangannya terkepal. Aku tahu dia marah.
“ Aku berdosa Misaki. Aku berdosa membiarkanmu tak mempedulikan ayahmu. Misaki, aku mohon untuk terakhir kalinya, temui Otou-sama “.
“ Kenapa kau menyuruhku bertemu penipu itu ? Kamu tahu dia bahkan memukulku ? “
“ Misaki, apa kamu ingin Shintaro tidak menghormatimu karena kamu tidak menghormati Otou-sama ? Misaki, kumohon, kamu sebagai ayah tahu apa yang dirasakan Otou-sama. Kumohon temui dia meski kita bisa berpisah karenanya “.
            Misaki memelukku erat. Dalam hati, aku tahu, Otou-sama tidak pernah merestuiku menjadi menantunya karena Otou-sama punya yang lebih baik untuk pendamping Misaki dibandingkan aku. Kutarik tangan Misaki ke ruang rawat Otou-sama. Kulihat beliau sudah sadar. Aku tersenyum lega dan mendorong Misaki ke arah Otou-sama. Kulihat pandangan tajam Otou-sama dan aku sadar aku harus keluar tetapi Misaki menarik tanganku.
“ Ada Hana atau tidak sama sekali. Dia istriku. Dia ibu dari anak-anakku. Jadi apa yang ingin Otou-sama bicarakan ? “
Kuelus punggung Misaki tanda menahan emosinya. Setiap mereka bertemu, selalu ini yang terjadi. Aku tak tahu harus bagaimana lagi menyelesaikan masalah di antara mereka.
            Otou-sama memandang kami dengan pandangan yang tak dapat kuartikan.
“ Aku mendengar seorang berdoa tentangku. Aku tahu Akako tidak akan berdoa seperti itu karena dia atheis, begitu juga dengan keluargaku. Jujur aku tidak percaya Tuhan namun doa istrimu membuatku kembali. Terima kasih anakku “.
Aku tak dapat berbuat banyak mendengar ucapan Otou-sama. Air mataku berderai kembali dan Misaki memelukku. Ia mencium puncak kepalaku.
“ Aku ingin melihat kedua cucuku “, sahut Okaa-sama.
Kuanggukkan kepalaku dan menatap ke arah Misaki. Misaki hanya mengganggu tanpa senyuman. Aku tahu dia masih sakit dengan perlakuan Otou-sama. Ia bahkan tidak mau memandang langsung ke arah Otou-sama. Aku menepuk pundaknya.
“ Misaki, Allah saja Maha Pemaaf, kenapa seorang dokter Misaki tidak mau memaafkan ? Ayo jadi contoh untuk anakmu, Otou-san “.
            Akhirnya hubungan Misaki dan keluarga Juntaro membaik meski Misaki tak lagi menggunakan nama Juntaro di depan namanya. Okaa-sama mencoba perhatian tapi mulai dibalas meski ala kadarnya. Liburan kami yang akan datang sudah terencana. Akhirnya kami berangkat begitu Otou-sama keluar dari rumah sakit. Kami berempat menuju Indonesia. Mungkin saat di Bandara Kansai udara sangat dingin tapi begitu sampai di Surabaya rasanya kami seperti orang salah kostum. Adikku yang sekolah di SMA negeri terbaik di kotaku bahkan ingin membolos untuk menyambutku tapi langsung kubentak. Waktu berjalan cepat. Indonesia yang dulu tak ada di ingatanku. Bahkan kotaku bertransformasi lebih dari ekspektasiku.
            Seperti biasa Misaki, Shintaro, dan Yahya, adikku langsung mengerjakan set robot yang Misaki bawa. Aku menemui ayah yang masih betah bekerja di kebun kecil di rumah kami saat beliau tak ada tugas kantor.
“ Ayah “, ujarku.
Ayah berhenti dari aktivitasnya menyambung tanaman yang kupikir aneh tapi dari situ beliau memberikan uang kuliahku.
“ Ada apa ? “
Ayah langsung kupeluk. Air mataku meleleh. Aku merindukan bau khas ayah.
“ Maafkan Hana nggak bisa pulang setiap saat. Seusai dari Jepang, Hana kuliah di Amerika dan langsung pergi ke Inggris. Hana hanya beberapa saat pulang ke Indonesia. Hana sama sekali jarang di Indonesia. Hana pergi ke Prancis dan hanya beberapa tahun sekali ke Indonesia. Maafkan Hana. Bukankah anak perempuan harusnya berbakti pada orang tuanya lebih dari yang adik Hana. Hana sayang Ayah.. Hana sayang Ibu. Maaf kalau Hana tidak bisa membahagiakan kalian. Maafkan Hana saat Hana tidak ada di saat kalian rindu Hana. Maafkan perilaku Hana, ayah. Maafkan sikap Hana. Hana baru menyadari kalau selama ini Ayah memberikan lebih dari yang Hana kira. Maaf jika hari itu Hana tidak lulus SNMPTN dan SBMPTN. Maaf Hana membuat ayah bekerja keras tahun depannya lagi untuk membiayai kuliah Hana. Maafkan Hana “.
            Dengan tangan tuanya, Ayah mengusap kepalaku yang tertutupi jilbab.
“ Hana lebih dari pemikiran Ayah. Hana sudah melampaui apa yang Ayah harapkan. Hana bisa sukses saat ini Ayah sangat bahagia. Ayah bangga punya anak Hana. Jika boleh memilih, Ayah akan bekerja lebih keras untuk Hana. Hana sekarang bisa membiayai sekolah adik Hana dari Yahya SMP sampai sampai sekarang. Ayah bangga sama Hana “.
Dengan mata yang berkaca-kaca, aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Sore itu, undangan reuni SMAku datang. Misaki membuka lagi praktek dokterku di rumah. Hari itu juga rumah diserbu tetanggaku yang berobat. Kedatanganku ke rumah selalu jadi cerita di kalangan tetanggaku. Aku tahu aku jarang di rumah dan mereka selalu ingin tahu jadi apa aku di luar sana.
            Adik sepupuku yang sangat suka dengan hal-hal berbau Korea liburan di rumahnya bersama keluarganya. Dia sudah menjadi konsultan di Konsul Jendral Korea Selatan di Surabaya. Aku bangga padanya. Adiknya, Dinda, kini bersekolah di tempat yang sama dengan adikku, Yahya. Sore itu banyak yang ingin kubicarakan. Misaki sendiri banyak menyimak cerita keluargaku. Kami sekeluarga berkumpul di ruang tengah rumahku dan bercerita banyak hal. Akayuki dan si kecil, Shintaro dengan riangnya berceloteh tentang Jepang. Aku hanya menggangguk bahagia. Saat di dapur, ibuku dan nenek membantuku memasak.
“ Hana tahu nggak, Hana dulu juga seperti Akayuki sama Shintaro. Dulu ketika kecil, Hana hiperaktif, ke sana kemari. Ibu senang melihat kamu tumbuh dewasa “.
            Kusunggingkan senyumku. Ibu memang selalu menganggapku gadis kecilnya. Yahya mengajak Shintaro dan Akayuki untuk bermain basket. Ayah dan Misaki sibuk di kebun kecil kami. Mereka sangat tertarik dengan flora. Saat aku membawakan dua cangkir kopi, kudengar Misaki dan ayah bercakap-cakap. Usai menaruh cangkir kopi ayah dan Misaki, aku pergi dan memandang mereka dari jauh. Ibu menepuk bahuku.
“ Kamu tahu, ketika kamu pergi ke Jepang, ayahmu selalu berdoa di musholla lebih lama dari pada biasanya. Ibu melihat setiap malam, ayahmu tahajud hanya untuk mendoakanmu. Ayah bahkan memandang foto wisudamu dengan tatapan bangga setiap paginya. Ayah menceritakanmu ke para anak buahnya. Ayahmu sangat bangga denganmu. Saat teman SMPmu yang dulu melamarmu ketika kamu melanjutkan post doktoralmu di Amerika, ayah menjawab dengan tegas untuk menolaknya. Ayah membiarkanmu meraih impianmu karena ayah tahu Allah sudah memberikan jodoh yang terbaik untukmu. Ketika Misaki datang ke Indonesia dengan orang tua angkatnya, ayah bahkan menyuruh ibu membersihkan rumah dan ketika kamu menikah, ayah mengelus papan praktekmu dulu yang selalu ia simpan sebagai bukti anak kesayangannya sudah sukses “.
            Air mataku mencoba keluar. Ada hal yang menyeruak. Ayah sangat menyayangiku seperti ibu. Benar dulu saat ditanya, siapa dari orang tuamu yang meninggal duluan, aku menjawab, aku ingin mereka bersamaku. Kematian kakek membuat luka sendiri. Aku saat itu sedang bertugas sebagai penyaji di seminar internasional di Inggris untuk menjelaskan teori baruku. Aku tak ada di sana. Aku selalu berusaha membangun komunikasi dengan keluargamu meski hanya telpon dan berkunjung setiap musim panas atau musim dingin. Aku menghabiskan waktu di kotaku selama beberapa hari kemudian kuputuskan untuk ke Jember untuk mengunjungi keluargaku dari pihak ibu. Kakak-kakak ibuku menyambut dengan suka cita. Beberapa sepupuku langsung mengajakku mengambil banyak oleh-oleh hasil bumi dan kujawab dengan gelengan kepala.
            Akayuki dan Shintaro diajak oleh sepupu-sepupunya ke sawah dan dibalas dengan keingintahuan besar. Pakde, begitu aku memanggil Omku, memberiku wejangan untuk mengunjungi mereka dan orang tuaku lebih sering. Kami hanya sehari dan kembali ke kotaku. Sudah hampir sebulan, aku dan keluargaku di rumah orang tuaku. Tiba-tiba, telpon dari rumah sakit ada pasien yang hanya bisa kutangani. Aku kecewa. Aku sedih. Aku tidak bisa bersama ayah lagi. Aku menangis. Misaki menghampiriku.
“ Hana, ada apa ? “
“ Ada pasien yang harus kutangani. Kawada-sensei menolak menanganinya. Aku masih ingin di sini “.
“ Biar aku telpon temanku yang di Kansai Hospital ....”.
“ Ayah mau hanya kamu pulang tapi kamu punya tugas. Sebagai dokter, kamu harus berangkat besok. Ayah nggak mau kamu lalai dari tugasmu karena keluarga. Kamu harus konsisten memilih pekerjaan dan risikonya. Ayah mau kamu jadi orang yang profesional “.
            Aku kaget ayah mengatakan seperti itu. Jujur, aku masih ingin di rumah tempatku dibesarkan. Bolehkan aku jadi egois kali ini saja ? Ayah membantuku mengemas barang. Ayah bahkan mengantarku bersama ibu dengan bantuan tetanggaku yang bisa menyetir mobil. Saat akan masuk ke ruang tunggu, aku memeluk ayah lama sekali. Aku tidak ingin pergi. Air mata tidak lagi bisa dibendung. Satu yang kuingat dari ayah.
“ Hana, ingat ya, Hana bekerja untuk membantu orang lain bukan untuk menumpuk uang yang harusnya bukan milik Hana. Hana harus konsisten dan profesional. Hana tetap jadi anak kebanggaan ayah dan ibu. Hana tetap gadis kecil ayah yang akan ayah tunggu kepulangannya. Ayah sayang Hana “.
Air mataku meleleh. Misaki sampai harus menepuk-nepuk pundakku agar aku kuat. Pengumuman boarding pesawat terdengar dan artinya sebentar lagi pesawat akan take off. Kulambaikan tanganku dan menuntun kedua anakku. Aku hanya bisa berdoa untuk ayahku. Ayah terhebat di dunia. Ayah yang hanya mengerti diriku dan membuatku sekuat ini. Terima kasih Ayah.

Tidak ada komentar: