Selasa, 22 Desember 2015

Tentang Ibu



 
Ibu memang tak sekuat tentara tetapi hatinya melebihi kuatnya baja. Aku mencintaimu, Ibu  - Itsuka Akira

“ Hana, kamu sudah besar sekarang. Kamu harus menentukan semuanya sendiri. Ibu sama Ayah hanya bisa mendoakanmu dari sini “, ujar Ibu saat aku ada di bandara waktu itu.
Seakan kata itu masih terngiang di pikiranku. Sudah 5 tahun kutinggalkan negeri tercinta demi meraih sejumput ilmu di negeri orang. Merantau dari kota ke kota. Dari negeri matahari terbit hingga ke negeri adidaya. Sudah selama itu aku belum pulang ke rumah. Impian menjadi Professor di bidang kardiovaskular dan bedah thoraks kardiovaskuler membawa langkahku berakhir di sini. Di negeri Paman Sam. Sudah hampir setahun aku berkutat dengan penelitian ini itu demi gelar profesorku.
            Foto keluargaku masih terpajang manis di meja kerjaku. Kugerakkan kepalaku. Rasanya sedikit tidak enak. Mungkin karena aku terus berkutat dengan data-data dan buku tebal ini. Aku masih menghitung kemungkinan keberhasilan metode yang kutemukan ini. Aku juga menghabiskan banyak waktuku untuk berkonsultasi pada Profesor-profesor senior di sini. Harvard Medical School adalah tempatku mulai membangun kepercayaan diri. Setahun ini aku memmfokuskan diri untuk meneliti dan membantu beberapa mahasiswa S1 dari Harvard University.
“ Hi, Hana, let’s get dinner. Oh girls, look at your self “, teriak temanku, William Stanford.
“ Sorry, Mr. Stanford. I have to look my research. Go dinner with your girlfriend “.
“ Aish, little brat. Up to you. I’ll go “.
“ Bye, Mr. Stanford “, lambaiku.
            Aku biasanya memanggil teman-teman seperjuanganku di sini dengan julukan Mr atau Miss. Ya memang usia mereka lebih tua dariku yang masih di garis 27 tahun. Bicara soal ibu, jujur saja aku kangen dengan Indonesia.
nae salmi haruharu kkumeul kkuneun geotcheoreom
neowa hamgge majubomyeo saranghalsu itdamyeon
dasi ileoseol geoya
Kulihat deretan huruf membentuk kata yang kurindukan.
“ Assalamu’alaikum. Ibu, ini Hana. Ibu apa kabar ? “
“ Wa’alaikumsalam. Ibu sama semuanya baik-baik saja. Kamu gimana di Amerika, sehat nduk ? Asmamu nggak kambuh kan ? Sekarang di sana musim dingin nduk, jangan lupa pakai baju tebal, pakai jaket “.
            Seketika air mataku meluncur. Semua kata-kata ibu masih sama seperti dulu. Beliau selalu menasehatiku dan memberi perhatian padaku. Kugigit bibir bawahku agar tangis ini tak meluncur.
“ Hana baik bu. Asma Hana udah nggak kambuh lagi. Ibu nggak usah khawatir Hana bisa jaga diri. Sebelumnya Hana minta maaf kemarin sempat telat transfer buat sekolah Yahya karena beberapa minggu ini ada tiga pasien yang kondisinya nggak stabil “.
“ Ya, Ibu ngerti. Hana, ayah menolak lamaran dari teman SMPmu dulu. Jawaban Hana untuk lamaran Ridwan gimana ? “
Deg. Jantungku terasa berhenti berdetak. Sejak aku kelas 3 SMP, nama itu sudah hilang dari pikiranku. Kuhembuskan napasku pelan.
“ Apa yang ayah jawab itu adalah yang terbaik buat Hana. Hana akan mengikuti pilihan orang tua Hana karena Hana percaya ayah dan ibu pasti memberikan yang terbaik buat Hana “.
            Di seberang sana kudengar suara ibu berdiskusi dengan ayah.
“ Begini, hari ini ada yang melamarmu. Katanya kakak tingkatmu ketika di Jepang dulu. Dia meminta kamu untuk menjadi istrinya. Dia mualaf sejak kelulusannya dari Kyoto University. Dia dan keluarganya datang jauh-jauh dari Jepang hanya untuk ini. Bagaimana jawabanmu Hana ? “
Sekali lagi tamparan telak mengenaiku. Siapa ? Siapa dia ?
“ Ibu tahu kamu ragu. Ibu mau kamu sholat istikharah dulu. Pasrahkan sama Allah “.
Aku tak mampu bersuara. Inikah akhir penantianku selama ini ? Misaki-senpai, kamu di mana ?
“ Ya bu, Hana menerimanya jika orang itu ibu dan ayah pandang baik untuk Hana “.
            Ucapan syukur menyerbu gendang telingaku. Mungkin ini takdir Allah. Aku harus bersama orang yang bukan menjadi tambatanku tetapi Allah memberikan imam terbaiknya kepadaku. Beberapa ucapan setelahnya membuatku terdiam hingga dering telpon berakhir. Ibu, apa benar jalan yang Hana ambil ini ? Kulepaskan pulpen yang sedari tadi kumainkan. Kupandangi sebuah foto yang berasal dari 4 tahun lalu. Fotoku dengan Misaki-senpai saat kelulusannya. Jujur tidak ada pengikat apa-apa di antara kami. Hanya sebuah janji di atas ikrar nama Tuhan tanpa ikatan apa-apa. Kubereskan meja kerjaku dan kulangkahkan kaki pulang. Jam tanganku sudah menunjuk angka sepuluh. Jam 10 malam waktu Boston.
            Suara musik ala korea masih terdengar dari flat tempat tinggalku begitu kumembuka pintu ruang tamu. Seorang juniorku yang mengenyam pendidikan S2 bedah thoraks kardiovaskular di kampusku masih menekuni drama Korea di laptopnya. Kusunggingkan senyumanku.
“ Lihat apa ? Udah jam 11 lho. Nggak baik buat badanmu “.
“ Ih Kak Hana, ngagetin Saras aja. Ini lagi lihat drama terbaru. Ganteng lho pemainnya “.
Kuacak rambut panjangnya.
“ Ya deh, ganteng tapi masih gantengan Kyuhyun Suju. Udah kamu istirahat sana. Dramanya dilanjut besok aja. Lagi pula kamu nggak ada kuliah musim dingin kan ? “.
Dianggukkan kepalanya sambil mengancungkan jempolnya. Aku tahu Saras tidak akan menuruti ucapanku. Dia benar-benar Korean addict. Sholat Isya’ku sudah kulakukan di kampus. Rasanya tulangku mau copot semua. Tadi pagi aku sudah sport jantung dengan kondisi dari pasien Prof. Gerrard. Prof. Gerrard sedang ada di Inggris jadi semua tugas mengawasi pasiennya jatuh padaku.
            Kuambil handuk dan baju gantiku. Aku rasa aku perlu mandi. Meski kamar mandiku di dalam kamar, teman seflatku biasanya langsung masuk begitu saja ke dalam kamar dan mulai merecokiku masalah abc. Usai mandi kuusap rambutku yang masih basah. Kubuka laptopku. Beberapa e-mail adikku masuk. Dia bilang yang melamarku sangat tampan dan baik. Aku hanya bisa tersenyum tipis. Berarti kesempatan Misaki-senpai sudah hilang. Sudah 4 tahun komunikasiku dengan Misaki-senpai terputus dan aku tidak tahu kabar apapun mengenai Misaki-senpai.
            Sejak hari itu, aku mulai memforsir diriku untuk bekerja lebih keras agar proposalku dapat diajukan pada sidang untuk gelar profesor bedah thoraks kardiovaskularku musim semi depan. Saras, Desita, Kak Rara, Kak Prita mengkhawatirkan cara kerjaku baik di rumah sakit maupun di kampus. Aku bekerja hampir selama 16 jam sehari. Aku mencoret beberapa bagian yang salah. Memperbaikinya lagi dari awal. Awal musim semi, aku menghadap Profesor Gerrard dan hasilnya proposalku akan diajukan di sidang kedua minggu pertama bulan April. Telpon ibu terus menerus berdatangan. Memberikanku support untuk belajar lagi. Terkadang aku menangis di telpon mendengar ibu bilang dia sudah bangga dengan apa yang kuraih. Tepat saat sidang kuundang ibu, ayah, dan adikku untuk menghadiri sidang untuk gelar profesorku.
            Udara di Boston masih cukup dingin dan kusewakan ibu, ayah dan adikku sebuah flat di atas flatku selama beberapa hari. Keesokan harinya, Ibu, ayah, dan adikku melihat bagaimana aku mempertahankan hasil penelitianku di depan banyak profesor dari universitas ternama di dunia, termasuk Prof. Tsuji Haruka yang memberiku jalan untuk belajar di Harvard. Detik demi detik terasa menegangkan. Sambutan terakhirku membuat ayah dan ibu menangis.
“ When i was a child, my younger brother had suffered Meningitis. He was a brave child, good boy, but God has shown his ways, my brother passed away but in that condition, i could not do anything for him. I just prayed for him. But, in my deep heart, i was upset. Why was my brother ? Why could not i do something for him ? I was depressed about him but now i want to say to him, Brother, your sister had gotten what she want. I want to help other person with my ability. For this tittle, i want to work hard and work again to repair my ability. Thank you for my dad, my mom, my brother, Prof. Gerrard, Prof. Gilbert, Prof. White, Prof. Tsuji, all of my colleagues. Thank you for your attention and good afternoon “.
            Tepuk tangan mendominasi hall kampus. Usai acara beberapa kawan dan teman seflatku mengabadikan momen itu dengan berfoto bersama. Prof. Gerrard dan Prof. Tsuji berbicara dengan bangga di depan orang tuaku. Dari sudut pandangku, Ibu sangat bangga dengan semua hasil prestasiku. Prof. Tsuji memberikan selembar amplop coklat tebal persis saat aku lulus S3 dari Tokyo University setahun lalu. Wajah tak percaya kutunjukkan begitu kertas seukuran F4 bertuliskan penerimaanku sebagai asisten profesor di Cambridge University dan dokter di salah satu rumah sakit ternama di Inggris.
“ I know your ability so i give it to you. Just keep it, you can enter whenever you want. Prof. Aston is too corious about your ability but just go home first and build your career in your country. If you are ready, just go “, ujar Prof. Tsuji.
“ Thank you very much, Prof. You’re very kind “.
“ Thank you, Mr, Mrs for your belief to me to teach your daughter. She is a great one “.
            Ayahku mengganggukkan kepalanya dan ibuku tersenyum sambil menepuk pundakku. Ini jalanku. Aku sudah mengemas semuanya dan bersiap pulang. Dari jendela pesawat kulihat kota Boston untuk terakhir kalinya. Mungkin aku bisa kembali ke kota ini suatu saat nanti. Pernikahanku dengan senpai yang tak kuketahui sudah disiapkan sedemikian rupa. Begitu seminggu aku menginjakkan kaki di Indonesia, acara akad nikah dilangsungkan. Aku mengundang beberapa temanku. Mereka terkejut karena aku tidak menikah dengan Kak Putra, temanku dari FK UNAIR. Aku menantikan prosesi akad dari dalam kamar. Jujur tanganku sangat gemetar. Di sana ayah sedang berhadapan dengan pria itu. Pria yang sebentar lagi akan memimpinku dalam biduk rumah tangga.
            Ibu menggenggam tanganku. Ia menatapku lembut.
“ Itu yang ibu rasakan dulu saat ayahmu melakukan akad nikah. Tenang saja. Allah pasti mempermudah pernikahan kalian. Ibu hanya berpesan jaga baik-baik kehormatan keluargamu. Kamu berpendidikan. Kamu tahu apa yang baik dan benar. Gunakan akalmu, ilmu agamamu, dan logikamu. Kamu menerima untuk menempuh hidup baru. Kehidupan yang mana ibu dan bapakmu tidak mempunyai tempat di dalamnya, atau salah seorang dari saudaramu. Dalam kehidupan tersebut, kamu menjadi teman bagi suamimu, yang tidak menginginkan seorangpun ikut campur dalam urusanmu, bahkan juga daging darahmu. Jadilah istri untuknya dan jadilah ibu untuknya. Kemudian jadikanlah ia merasakan bahwa kamu adalah segala-galanya dalam kehidupannya, dan segala-galanya di dunia “.
            Air mataku meleleh. Ibu terus menatapku. Matanya menampakkan ketenangan.
“ Ingatlah selalu, laki-laki anak-anak atau dewasa memiliki kata-kata manis yang lebih sedikit, yang dapat membahagiankannya. Janganlah kamu membuatnya berperasaan bahwa dia menikahimu menyebabkanmu merasa jauh dari keluarga dan sanak kerabatmu. Sesungguhnya perasaan ini sama dengan yang ia rasakan, karena dia juga meninggalkan rumah orang tuanya, dan keluarga karena dirimu. Tetapi perbedaan antara dia dan kamu adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan, dan perempuan selalu rindu kepada keluarga dan tempat ia dilahirkan, berkembang, besar dan menimba ilmu pengetahuan. Akan tetapi sebagai seorang isteri ia harus kembali kepada kehidupan baru. Dia harus membangun hidupnya bersama laki-laki yang menjadi suami dan perlindungannya, serta bapak dari anak-anaknya. Inilah duaniamu yang baru. Inilah kenyataan yang kamu hadapi dan inilah masa depanmu. Inilah keluargamu, dimana engkau dan suamimu bekerja sama dalam mengarungi bahtera rumah tannga. Adapun bapakmu, itu dulu. Sesungguhnya aku tidak memintamu untuk melupakan bapakmu, ibumu dan sanak saudaramu, karena mereka tidak akan melupakanmu selamanya. Bagaimana mungkin seorang ibu melupakan buah hatinya. Akan tetapi aku memintamu untuk mencintai suamimu dan hidup bersamanya, dan kamu bahagia dengan kehidupan berumu bersamanya “.
            Ibu selalu seperti ini. Selalu kuat meski tahu mungkin aku akan jarang bersamanya. Akan tak ada saat dia rindu. Aku ingin egois dengan tidak meninggalkan ibu tapi ibu mengatakan aku harus menuruti suamiku. Sepupuku menarikku dan membawaku ke arah punggung pria yang duduk di sana. Ibu menguatkanku. Ini akhirnya. Aku menundukkan kepala pada kedua orang tua yang kutahu adalah kakek dan nenek suamiku kini. Keduanya terlihat tua namun terlihat bahagia melihat cucu mereka menikah. Kududukkan diriku di sampingnya dan menandatangani beberapa berkas. Aku mengarahkan kepalaku untuk mencium tangannya. Aku masih takut menatapnya. Tangannya putih bersih khas orang Jepang. Kucium tangan suamiku dan masih menundukkan kepalaku. Air mata yang kutahan akhirnya jatuh juga. Kecupan ringan di puncak kepalaku yang tertutupi kerudung berwarna peach. Ia menarik tanganku yang terbaluti shiromuku. Ia memasukkan sebuah cincin berwarna putih ke jari tanganku. Batu safir kecil melekat di atasnya.
            Aku memasangkan cincin dari perak ke jari tangannya. Sepupu dari pihak ibu tak henti-henti mengeluarkan tangisannya. Mereka berkata kalau adik kecilnya ini sudah dimiliki orang lain. Ketika kumendongakkan kepalaku, aku mengenalinya, dia Misaki-senpai. Akakura Misaki. Orang yang kukira tak akan kutemui. Ia tersenyum tipis. Beberapa temanku mengajakku mengajar di universitasku dulu tapi kutolak karena aku masih ingin mengabdi di masyarakat. Misaki memutuskan kami untuk tinggal di Indonesia sebelum dua tahun lagi kami berangkat ke Inggris untuk mengadu nasib. Pagi hari setelah akad nikah, sepupu dan ibuku meledekku dengan mengatakan malam pertama. Ya semuanya memang biasa saja. Aku bekerja di salah satu rumah sakit di kotaku. Begitu juga dengan Misaki.
            Ibu benar. Aku bisa jadi lebih dewasa saat aku menikah. Setelah dua tahun, aku pamit pada ibu dan ayah. Ayah dan ibu mengantarku hingga pintu keberangkatan. Akayuki, bayiku yang baru saja lahir harus bertahan bersama kami di negeri perantauan. Satu pesan ibu saat itu, “ kamu sudah dewasa. Kami bangga padamu, jadilah ibu yang baik dan rawatlah ia dengan baik. Kamu dan suamimu akan sukses. Ibu dan ayah akan mendoakan kalian “.
 

Tidak ada komentar: