Sebuah cerpen sederhana yang menunjukkan betapa berharganya seorang ayah bagi seorang anak perempuannya - Itsuka Akira
“
Melamun apa ? “ tanya suamiku, Akakura Misaki sambil memeluk pinggangku.
Aku
tersenyum simpul melihat pemandangan kota Kyoto. Banyak yang berubah tetapi aku
tetap suka dengan Kyoto.
“
Ayah. Kamu tahu kan aku menyayangi ayah. Aku teringat beliau selalu
mengantarkanku saat aku akan kembali ke kampus meski hujan deras. Aku rindu
ayah, Misaki “, uraiku sambil berderai air mata.
Ia
mengelus puncak kepalaku yang tertutup jilbabku.
“
Kita mengunjungi ayah bulan depan ? Aku tahu kamu kosong. Akayuki dan Shintaro
juga sepertinya rindu kakek dan neneknya di Indonesia “.
Aku
pun menganggukkan kepala. Rasa senang dan bahagia membuncah. Aku bukan orang
yang bisa jujur jika itu tentang perasaan tetapi Misaki yang mengerti diriku
sudah lebih dari cukup.
Misaki mencium puncak kepalaku. Di
usiaku yang tak muda lagi, aku bersyukur mempunyai keluarga yang mengerti
diriku. Malam ini, aku melihat bulan lebih bersinar dari pada hari sebelumnya.
Ya Allah, biarkan aku menikmati ini. Sebersit ingatan tentang ayah merasuki
pikiranku. Kupandangi wajah suamiku. Tampan seperti dulu. Aku pun mengerti dia
punya banyak beban akibat masa lalunya. Ia masih belum bisa bertemu dengan
keluarganya. Setelah kami menikah beberapa tahun lalu, tepatnya 11 tahun lalu,
Misaki memutuskan tinggal di Indonesia hingga Akayuki lahir dan setelahnya kami
pergi ke Inggris untuk mengembangkan karir kami berdua. Dua tahun lalu,
tepatnya 12 Mei, aku kembali ke Kyoto setelah tinggal di Indonesia selama
setahun. Misaki menolak tinggal di Osaka karena alasan adanya keluarga
angkatnya. Misaki bahkan mengganggap ayahku seperti ayahnya. Jarang yang
seperti itu.
Pagi harinya, aku mengantar Shintaro
ke sekolahnya. Misaki sudah lebih dulu pergi ke rumah sakit karena ada kondisi
gawat darurat. Akayuki sudah pergi sendiri ke sekolah. Kulambaikan tangan saat
Shintaro berlari masuk. Anak lelakiku sudah berusia 4 tahun, berarti aku
semakin tua, pikirku. Saat kubalikkan badan, seorang wanita menyenggolku dan
dengan refleks, aku menundukkan kepala sambil berkata gomen nasai. Kuangkat
kepalaku dan kulihat wajah kakak ipar angkatku. Garis wajahnya masih awet muda
meski beberapa keriput terlihat.
“
Onee-sama “, ujarku.
Dia
menyunggingkan senyuman kalemnya.
“
Hana ? Hissashiburi desu ne ? Genki desuka ? “
“
O-hissasiburi, Onee-sama. Yokkata, watashi wa genki desu “.
“
Hana, ada yang ingin aku bicarakan. Ini masalah Otou-sama “.
“
Hai, onee-sama “.
“
Sepedamu taruh saja di bagasi mobilku. Kita ke rumah utama sekarang karena kami
juga sudah pindah “.
Kuanggukkan kepalaku. Sepanjang
perjalanan kami hanya diam. Aku dan Akia-Onee-sama bukan pasangan yang pas
dalam perjalanan. Bukan ke rumah tapi Onee-sama membawaku ke rumah sakit
terbesar di Kyoto. Aku terkejut. Ada apa ? Tapi pandangan Onee-sama tidak berubah.
Onee-sama membuka pintu ruang VVIP. Aku terkejut ketika melihat Otou-sama
terbaring dengan beberapa alat membantu kehidupannya. Sontak air mataku
terurai. Kuarahkan pandangan pada Onee-sama.
“
Kesehatan Otou-sama menurun sejak Misaki pergi. Otou-sama memikirkan Misaki.
Selama ini Misaki tidak pernah bekerja keras. Mungkin hanya perlu duduk dan
memimpin rapat. Otou-sama mengkhawatirkan Misaki “.
Rasa
bersalah menyelusup dalam hatiku. Air mataku mulai deras. Aku tahu Misaki ada
di rumah sakit ini. Kubungkukkan badanku dalam-dalam.
“
Otou-sama, kumohon bangun. Misaki ada di sini. Aku akan membawa Misaki untuk
Otou-sama. Anak lelaki Otou-sama ada di sini. Ya Allah, ijinkan ayah mertuaku
bangun dari sakitnya dan jangan berikan ia lebih dari yang ia bisa tanggung
atau angkatlah penyakitnya “, ujarku.
Aku meminta ijin pada Onee-sama
untuk keluar. Kulangkahkan kakiku cepat. Tak kupedulikan beberapa orang yang
memandangku aneh kare tangisanku. Kubuka kasar pintu ruangan Misaki. Misaki
terlihat lelah namun ia segera berdiri ketika aku ada di depannya.
“
Misaki, kumohon temui Otou-sama. Kumohon. Aku tidak akan meminta banyak hal.
Aku minta kau menemui Otou-sama. Aku janji akan ada di rumah sebelum dirimu.
Kumohon temui Otou-sama. Dia orang tuamu “.
Kulihat
mukanya memerah melihat air mataku. Tangannya terkepal. Aku tahu dia marah.
“
Aku berdosa Misaki. Aku berdosa membiarkanmu tak mempedulikan ayahmu. Misaki,
aku mohon untuk terakhir kalinya, temui Otou-sama “.
“
Kenapa kau menyuruhku bertemu penipu itu ? Kamu tahu dia bahkan memukulku ? “
“
Misaki, apa kamu ingin Shintaro tidak menghormatimu karena kamu tidak
menghormati Otou-sama ? Misaki, kumohon, kamu sebagai ayah tahu apa yang
dirasakan Otou-sama. Kumohon temui dia meski kita bisa berpisah karenanya “.
Misaki memelukku erat. Dalam hati,
aku tahu, Otou-sama tidak pernah merestuiku menjadi menantunya karena Otou-sama
punya yang lebih baik untuk pendamping Misaki dibandingkan aku. Kutarik tangan
Misaki ke ruang rawat Otou-sama. Kulihat beliau sudah sadar. Aku tersenyum lega
dan mendorong Misaki ke arah Otou-sama. Kulihat pandangan tajam Otou-sama dan
aku sadar aku harus keluar tetapi Misaki menarik tanganku.
“
Ada Hana atau tidak sama sekali. Dia istriku. Dia ibu dari anak-anakku. Jadi
apa yang ingin Otou-sama bicarakan ? “
Kuelus
punggung Misaki tanda menahan emosinya. Setiap mereka bertemu, selalu ini yang
terjadi. Aku tak tahu harus bagaimana lagi menyelesaikan masalah di antara
mereka.
Otou-sama
memandang kami dengan pandangan yang tak dapat kuartikan.
“
Aku mendengar seorang berdoa tentangku. Aku tahu Akako tidak akan berdoa
seperti itu karena dia atheis, begitu juga dengan keluargaku. Jujur aku tidak
percaya Tuhan namun doa istrimu membuatku kembali. Terima kasih anakku “.
Aku
tak dapat berbuat banyak mendengar ucapan Otou-sama. Air mataku berderai
kembali dan Misaki memelukku. Ia mencium puncak kepalaku.
“
Aku ingin melihat kedua cucuku “, sahut Okaa-sama.
Kuanggukkan
kepalaku dan menatap ke arah Misaki. Misaki hanya mengganggu tanpa senyuman.
Aku tahu dia masih sakit dengan perlakuan Otou-sama. Ia bahkan tidak mau
memandang langsung ke arah Otou-sama. Aku menepuk pundaknya.
“
Misaki, Allah saja Maha Pemaaf, kenapa seorang dokter Misaki tidak mau
memaafkan ? Ayo jadi contoh untuk anakmu, Otou-san “.
Akhirnya hubungan Misaki dan
keluarga Juntaro membaik meski Misaki tak lagi menggunakan nama Juntaro di
depan namanya. Okaa-sama mencoba perhatian tapi mulai dibalas meski ala
kadarnya. Liburan kami yang akan datang sudah terencana. Akhirnya kami
berangkat begitu Otou-sama keluar dari rumah sakit. Kami berempat menuju
Indonesia. Mungkin saat di Bandara Kansai udara sangat dingin tapi begitu
sampai di Surabaya rasanya kami seperti orang salah kostum. Adikku yang sekolah
di SMA negeri terbaik di kotaku bahkan ingin membolos untuk menyambutku tapi
langsung kubentak. Waktu berjalan cepat. Indonesia yang dulu tak ada di
ingatanku. Bahkan kotaku bertransformasi lebih dari ekspektasiku.
Seperti biasa Misaki, Shintaro, dan
Yahya, adikku langsung mengerjakan set robot yang Misaki bawa. Aku menemui ayah
yang masih betah bekerja di kebun kecil di rumah kami saat beliau tak ada tugas
kantor.
“
Ayah “, ujarku.
Ayah
berhenti dari aktivitasnya menyambung tanaman yang kupikir aneh tapi dari situ
beliau memberikan uang kuliahku.
“
Ada apa ? “
Ayah
langsung kupeluk. Air mataku meleleh. Aku merindukan bau khas ayah.
“
Maafkan Hana nggak bisa pulang setiap saat. Seusai dari Jepang, Hana kuliah di
Amerika dan langsung pergi ke Inggris. Hana hanya beberapa saat pulang ke
Indonesia. Hana sama sekali jarang di Indonesia. Hana pergi ke Prancis dan
hanya beberapa tahun sekali ke Indonesia. Maafkan Hana. Bukankah anak perempuan
harusnya berbakti pada orang tuanya lebih dari yang adik Hana. Hana sayang Ayah..
Hana sayang Ibu. Maaf kalau Hana tidak bisa membahagiakan kalian. Maafkan Hana
saat Hana tidak ada di saat kalian rindu Hana. Maafkan perilaku Hana, ayah.
Maafkan sikap Hana. Hana baru menyadari kalau selama ini Ayah memberikan lebih
dari yang Hana kira. Maaf jika hari itu Hana tidak lulus SNMPTN dan SBMPTN.
Maaf Hana membuat ayah bekerja keras tahun depannya lagi untuk membiayai kuliah
Hana. Maafkan Hana “.
Dengan tangan tuanya, Ayah mengusap
kepalaku yang tertutupi jilbab.
“
Hana lebih dari pemikiran Ayah. Hana sudah melampaui apa yang Ayah harapkan.
Hana bisa sukses saat ini Ayah sangat bahagia. Ayah bangga punya anak Hana.
Jika boleh memilih, Ayah akan bekerja lebih keras untuk Hana. Hana sekarang
bisa membiayai sekolah adik Hana dari Yahya SMP sampai sampai sekarang. Ayah
bangga sama Hana “.
Dengan
mata yang berkaca-kaca, aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Sore itu, undangan
reuni SMAku datang. Misaki membuka lagi praktek dokterku di rumah. Hari itu
juga rumah diserbu tetanggaku yang berobat. Kedatanganku ke rumah selalu jadi
cerita di kalangan tetanggaku. Aku tahu aku jarang di rumah dan mereka selalu
ingin tahu jadi apa aku di luar sana.
Adik sepupuku yang sangat suka
dengan hal-hal berbau Korea liburan di rumahnya bersama keluarganya. Dia sudah
menjadi konsultan di Konsul Jendral Korea Selatan di Surabaya. Aku bangga
padanya. Adiknya, Dinda, kini bersekolah di tempat yang sama dengan adikku,
Yahya. Sore itu banyak yang ingin kubicarakan. Misaki sendiri banyak menyimak
cerita keluargaku. Kami sekeluarga berkumpul di ruang tengah rumahku dan
bercerita banyak hal. Akayuki dan si kecil, Shintaro dengan riangnya berceloteh
tentang Jepang. Aku hanya menggangguk bahagia. Saat di dapur, ibuku dan nenek
membantuku memasak.
“
Hana tahu nggak, Hana dulu juga seperti Akayuki sama Shintaro. Dulu ketika
kecil, Hana hiperaktif, ke sana kemari. Ibu senang melihat kamu tumbuh dewasa
“.
Kusunggingkan senyumku. Ibu memang
selalu menganggapku gadis kecilnya. Yahya mengajak Shintaro dan Akayuki untuk
bermain basket. Ayah dan Misaki sibuk di kebun kecil kami. Mereka sangat
tertarik dengan flora. Saat aku membawakan dua cangkir kopi, kudengar Misaki
dan ayah bercakap-cakap. Usai menaruh cangkir kopi ayah dan Misaki, aku pergi
dan memandang mereka dari jauh. Ibu menepuk bahuku.
“
Kamu tahu, ketika kamu pergi ke Jepang, ayahmu selalu berdoa di musholla lebih
lama dari pada biasanya. Ibu melihat setiap malam, ayahmu tahajud hanya untuk
mendoakanmu. Ayah bahkan memandang foto wisudamu dengan tatapan bangga setiap
paginya. Ayah menceritakanmu ke para anak buahnya. Ayahmu sangat bangga
denganmu. Saat teman SMPmu yang dulu melamarmu ketika kamu melanjutkan post
doktoralmu di Amerika, ayah menjawab dengan tegas untuk menolaknya. Ayah
membiarkanmu meraih impianmu karena ayah tahu Allah sudah memberikan jodoh yang
terbaik untukmu. Ketika Misaki datang ke Indonesia dengan orang tua angkatnya,
ayah bahkan menyuruh ibu membersihkan rumah dan ketika kamu menikah, ayah
mengelus papan praktekmu dulu yang selalu ia simpan sebagai bukti anak
kesayangannya sudah sukses “.
Air mataku mencoba keluar. Ada hal
yang menyeruak. Ayah sangat menyayangiku seperti ibu. Benar dulu saat ditanya,
siapa dari orang tuamu yang meninggal duluan, aku menjawab, aku ingin mereka
bersamaku. Kematian kakek membuat luka sendiri. Aku saat itu sedang bertugas
sebagai penyaji di seminar internasional di Inggris untuk menjelaskan teori
baruku. Aku tak ada di sana. Aku selalu berusaha membangun komunikasi dengan
keluargamu meski hanya telpon dan berkunjung setiap musim panas atau musim
dingin. Aku menghabiskan waktu di kotaku selama beberapa hari kemudian
kuputuskan untuk ke Jember untuk mengunjungi keluargaku dari pihak ibu.
Kakak-kakak ibuku menyambut dengan suka cita. Beberapa sepupuku langsung
mengajakku mengambil banyak oleh-oleh hasil bumi dan kujawab dengan gelengan
kepala.
Akayuki dan Shintaro diajak oleh
sepupu-sepupunya ke sawah dan dibalas dengan keingintahuan besar. Pakde, begitu
aku memanggil Omku, memberiku wejangan untuk mengunjungi mereka dan orang tuaku
lebih sering. Kami hanya sehari dan kembali ke kotaku. Sudah hampir sebulan,
aku dan keluargaku di rumah orang tuaku. Tiba-tiba, telpon dari rumah sakit ada
pasien yang hanya bisa kutangani. Aku kecewa. Aku sedih. Aku tidak bisa bersama
ayah lagi. Aku menangis. Misaki menghampiriku.
“
Hana, ada apa ? “
“
Ada pasien yang harus kutangani. Kawada-sensei menolak menanganinya. Aku masih
ingin di sini “.
“
Biar aku telpon temanku yang di Kansai Hospital ....”.
“
Ayah mau hanya kamu pulang tapi kamu punya tugas. Sebagai dokter, kamu harus
berangkat besok. Ayah nggak mau kamu lalai dari tugasmu karena keluarga. Kamu
harus konsisten memilih pekerjaan dan risikonya. Ayah mau kamu jadi orang yang
profesional “.
Aku kaget ayah mengatakan seperti
itu. Jujur, aku masih ingin di rumah tempatku dibesarkan. Bolehkan aku jadi
egois kali ini saja ? Ayah membantuku mengemas barang. Ayah bahkan mengantarku
bersama ibu dengan bantuan tetanggaku yang bisa menyetir mobil. Saat akan masuk
ke ruang tunggu, aku memeluk ayah lama sekali. Aku tidak ingin pergi. Air mata
tidak lagi bisa dibendung. Satu yang kuingat dari ayah.
“
Hana, ingat ya, Hana bekerja untuk membantu orang lain bukan untuk menumpuk
uang yang harusnya bukan milik Hana. Hana harus konsisten dan profesional. Hana
tetap jadi anak kebanggaan ayah dan ibu. Hana tetap gadis kecil ayah yang akan
ayah tunggu kepulangannya. Ayah sayang Hana “.
Air
mataku meleleh. Misaki sampai harus menepuk-nepuk pundakku agar aku kuat.
Pengumuman boarding pesawat terdengar dan artinya sebentar lagi pesawat akan
take off. Kulambaikan tanganku dan menuntun kedua anakku. Aku hanya bisa berdoa
untuk ayahku. Ayah terhebat di dunia. Ayah yang hanya mengerti diriku dan
membuatku sekuat ini. Terima kasih Ayah.